Monday, 7 September 2015

Ulang Tahun Lingkungan St. Monica



St. Monika: Cermin Kekudusan Para Ibu
 

Hari ini tanggal 27 Agustus Gereja Katolik di seluruh dunia memperingati St. Monika, ibunda St. Agustinus. Dan keesokan harinya, kita juga akan memperingati St. Agustinus sendiri, sang Doktor Gereja dan juga uskup yang tak kenal lelah dalam melakukan karya pastoral di tengah umatnya. Beginilah cara Gereja menghargai ingatan biografis para anggotanya. Gereja sangat menghargai dan menjunjung tinggi putra-putrinya yang mampu menjalani kehidupan Kristiani seturut kehendak Allah, dan karenanya menjadikan mereka teladan bagi setiap umat beriman. Momen penuh rahmat ini merupakan momen yang bagus untuk memperbaharui komitmen hidup kita, untuk selalu belajar dari orang kudus agar kita pun dapat terus berjalan di jalan kekudusan.


Kebanyakan dari kita tentunya sudah mengenal St. Monika sebagai seorang ibu yang tekun berdoa. Melalui doanya yang tiada henti, yang disertai dengan bercucuran air mata, ia menggempur surga dengan dua hal ini, demi pertobatan anaknya. Kita pun tahu bahwa Penyelenggaraan ilahi telah menetapkan bahwa Monika, harus menanti dengan sangat lama―lebih dari 10 tahun―agar Allah mengabulkan doanya.

Riwayat hidup St. Monika yang lebih detil dapat kita baca dalam autobiografi rohani St. Agustinus, yang dengan indah dan mendalam menuliskan kesaksian akan hidup dan kekudusan Monika. Namun kali ini saya ingin memusatkan renungan ini pada dua hal ini saja: bagaimana seorang Kristen hidup di dunia, namun tetap mengarahkan pandangannya ke atas, ke arah hal-hal surgawi.

Ketika ajalnya mulai mendekat, Monika berkata demikian kepada putranya yang terkasih:

“Anakku, bagiku ini tidak ada lagi yang dapat memukauku dalam kehidupan ini. Apa lagi yang dapat kuperbuat di dunia ini? Untuk apa aku di sini? Entahlah, tak ada lagi yang kuharapkan dari dunia ini. Ada satu hal saja yang tadinya masih membuat aku ingin tinggal cukup lama dalam kehidupan ini, yaitu melihat engkau menjadi Kristen Katolik sebelum aku mati. Keinginanku sudah terkabulkan berlebihan dalam apa yang telah diberikan Allah kepadaku: kulihat kau sudah sampai meremehkan kebahagiaan dunia ini dan menjadi hamba-Nya. Apa yang kuperbuat lagi di sini?”

Dari sudut pandang orang modern, kutipan St. Monika di atas tentu terdengar aneh. Secara umum, seorang ibu akan mendoakan supaya anaknya berhasil di masa depan. Tentu berhasilnya di sini berarti keberhasilan secara material atau duniawi. Seorang ibu akan berdoa supaya anaknya hidup bahagia, menikah dan memiliki menantu serta cucu yang baik, lalu juga berprestasi dalam karir.

Namun St. Monika berbeda. Selama bertahun-tahun, yang ia inginkan dan mohonkan kepada Allah supaya putranya bertobat dan memeluk iman Katolik, yang pernah dimiliki sejak kecil namun ditinggalkannya ketika Agustinus memasuki masa remaja dan dewasa. St. Monika terus memandang ke atas, ke hadirat Allah, memohon agar jiwa putranyanya diselamatkan.

Hal ini menjadi menarik bila kita mencermati bacaan Injil hari ini. Dikisahkan, ada seorang anak laki-laki  tunggal dari seorang ibu yang sudah janda. Anak laki-laki ini sudah mati, namun Tuhan Yesus merasa kasihan melihat hal ini, sehingga Ia berkata “Hai anak muda, aku berkata kepada-Mu, bangkitlah!”. Anak itu pun bangkit dari kematian. Dengan mudah kitapun dapat mengenali bahwa kisah Injil tersebut sangat mirip dengan pengalaman St. Monika dan St. Agustinus.

Beginilah sesungguhnya realita kehidupan rohani setiap orang Kristen: mereka yang jauh dari Allah, mereka yang berada dalam kondisi berdosa berat, sebenarnya mereka adalah orang-orang yang mati secara rohani. Mereka hidup dalam kegelapan, mereka meraba-raba, berusaha menemukan sesuatu yang dapat mengisi kekosongan di dalam hatinya. Namun apapun yang dapat ditemukan dalam dunia ini―kekuasaan, uang, seks―bukanlah hal yang dapat memuaskan kehidupan terdalam manusia. Seperti yang diungkapkan St. Agustinus: “hati kami tak kunjung tenang, sampai beristirahat dalam Dikau.” Hanya Allah yang dapat memenuhi kerinduan terdalam manusia, hal yang lainnya tak akan pernah cukup.

Salahkah bila seorang ibu di jaman modern mendoakan hal-hal yang sifatnya duniawi, seperti yang tadi saya sebutkan? Tentu tidak salah, karena toh dalam kehidupan di dunia ini, manusia memerlukan makanan, pekerjaan, uang, dan pendamping hidup. Semuanya ini adalah kebutuhan manusia pada umumnya, dan tentu baik sekali bila seorang ibu mendoakan anaknya. Tetapi semua ini akan menjadi salah, bila pertama-tama seorang ibu tidak mendoakan keselamatan jiwa anak-anaknya. Bagaimanapun juga, seorang ibu yang juga sekaligus seorang Katolik, bertanggung jawab dalam pendidikan iman dan pertumbuhan kekudusan anak-anaknya.

Sekarang ini, tuntutan hidup di jaman modern tidak jarang mengharuskan suami dan istri untuk bekerja. Peran tradisional ketika hanya suami yang bekerja, lalu istri menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak-anak, kelihatannya terlihat kuno dan ketinggalan jaman. Menjadi ibu rumah tangga, bisa jadi tidak lagi dianggap sebagai suatu panggilan yang mulia, melainkan sebagai penghalang bagi terwujudnya aktualisasi diri. Tentunya saya tidak menyalahkan, atau menganggap istri yang bekerja sebagai sebuah kesalahan ataupun dosa, karena Gereja tidak pernah menyatakan demikian.

Selain itu, keluarga pun juga sedang mengalami krisis. Ada kasus ketika keluarga muda yang baru memulai bahtera rumah tangga, kemudian memutuskan untuk bercerai. Ada juga kasus lain ketika ibu (dan ayah juga) yang membunuh atau menjual anaknya. Di tengah situasi hidup yang demikian berat sekaligus menyedihkan, tampaknya peran iman menjadi semakin terpinggirkan. Bukan tidak mungkin, manusia di jaman modern mulai melupakan Allah, dan menyibukkan dirinya dengan hal-hal fana, berusaha bertahan hidup dan mencukupi kebutuhannya. Tentu tidaklah mungkin bagi saya untuk membahas semua persoalan itu, namun setidaknya ini memberikan gambaran pada kita, betapa sulit menjadi seorang Kristen di masa kini, terlebih menjadi ayah dan ibu!

Mari kita kembali pada teladan St. Monika yang hendak kita renungkan. St. Monika adalah seorang pendoa yang giat, dan juga seorang ibu yang sangat memperhatikan keselamatan jiwa anaknya. Ketika seseorang mengemban peran sebagai ayah atau ibu, doa merupakan hal yang penting bagi kehidupan rohani keluarga. Namun doa saja tidak cukup: partisipasi dalam sakramen, khususnya dalam sakramen tobat dan Ekaristi, usaha untuk mempelajari dan menghayati iman dalam keluarga, bertumbuh dalam keutamaan-keutamaan Kristen, ketiganya berperan penting sebagai pengingat identitas kita: kita adalah seorang peziarah di dunia ini. Kita, yang adalah anggota Gereja Militan, juga harus berperang melawan godaan yang berasal dari nafsu kedagingan, dunia dan kesombongan. Rahmat yang diberikan dalam sakramen, serta doa dan studi iman, menjadi senjata penting dalam peperangan rohani kita. Hanya dengan cara ini, kita dapat menemukan terang. Dengan cara ini pula, kita dapat tetap hidup bersama Allah, sehingga Allah berdiam dalam kita, memegang tangan kita dan menuntun kita ke dalam keabadian.

St. Monika memberikan kepada kita, beberapa karakteristik doa yang perlu dimiliki setiap umat beriman. Pertama, kita harus memiliki iman dan kepercayaan yang besar kepada Allah. Kita percaya kepada Allah, karena Allah telah menyatakan diri-Nya kepada kita. Ia bukanlah sosok yang jauh di masa lalu. Kemarin, kini, dan esok, Allah tetaplah dekat pada kita. Kita dapat berbicara dan menyampaikan segala kegundahan dan keresahan kita. Allah pun selalu berbicara kepada kita―terkadang dalam kesunyian―dan kita perlu belajar untuk mendengarkan Dia dalam keheningan dan permenungan juga.

Kepercayaan kita kepada Allah, mengingatkan kita bahwa Allah dapat menjawab doa kita. Apakah yang tidak mungkin ditolak oleh Allah? Allah tidak akan berkata “tidak” terhadap doa kita, asalkan apa yang kita minta sungguh berguna bagi keselamatan kita. Kita perlu memiliki kesadaran bahwa Allah mengabulkan doa mereka yang sungguh meminta hal-hal yang benar, baik dan indah. Dan inilah karakteristik kedua dari doa: yaitu bahwa kita harus meminta hal yang sungguh benar, baik, dan indah, sesuai dengan hukum-Nya dan kehendak-Nya.

Kesaksian hidup St. Monika juga menunjukkan pada kita bahwa seringkali kita perlu bersabar, karena Allah tidak selalu mengabulkan atau memberikan jawaban terhadap setiap permohonan kita dengan cepat. Kesabaran ini mengharuskan kita untuk tetap bertekun dalam doa, karena seringkali dalam proses penantian ini, bisa jadi Tuhan ingin melihat kegigihan kita dalam doa. Selain itu, diperlukan juga usaha kita dalam mewujudkan apa yang kita minta kepada Tuhan. Jadi, karakteristik ketiga berkenaan dengan ketekunan: ketekunan dalam doa, dan juga ketekunan dalam usaha mewujudkan apa yang kita inginkan dari Allah.

Saya akan mengakhiri refleksi ini dengan karakteristik terakhir dalam doa: harapan. Tema harapan ini terkait dengan salah satu gelar Maria, yakni Stella Maris, yang berarti Bintang Laut. Kehidupan seorang Kristen itu bagaikan seorang yang mengemudikan bahtera di tengah laut, yang terkadang berbadai dan berombak yang ganas. Dalam kehidupan yang tidak mudah ini, maka perlu sekali kita mengarahkan pandangan kita ke atas, kepada Sang Bintang yang mengarahkan kita kepada tujuan akhir kita: kehidupan kekal. Sekalipun dalam hidup kita terdapat momen-momen yang gelap dan penuh kesulitan, seorang Kristen yang berdoa merupakan pribadi yang juga memiliki harapan. Allah adalah pengharapan kita yang sejati, dan Ia menuntun kita, salah satunya dengan memberikan kita teladan dari para kudus. Para kudus adalah bintang-bintang di angkasa sejarah, dan dalam saat penuh rahmat ini, marilah kita belajar dari teladan St. Monika, sembari tetap menjaga fokus kita untuk mengutamakan perkara surgawi. Dengan mengarahkan hati kita kepada Yesus dan para kudusnya, membaharui komitmen hidup rohani kita setiap harinya, maka sungguh perkataan Rasul Paulus dapat terjadi: Spe Salvi facti sumus―dalam pengharapan kita diselamatkan. Mari kita semua, secara khusus para ibu, merenungkan secara mendalam pesta St. Monika hari ini. Amin.
 

0 comments:

Post a Comment