St.
Monika: Cermin Kekudusan Para Ibu
Hari ini tanggal 27 Agustus
Gereja Katolik di seluruh dunia memperingati St. Monika, ibunda St. Agustinus.
Dan keesokan harinya, kita juga akan memperingati St. Agustinus sendiri, sang
Doktor Gereja dan juga uskup yang tak kenal lelah dalam melakukan karya
pastoral di tengah umatnya. Beginilah cara Gereja menghargai ingatan biografis
para anggotanya. Gereja sangat menghargai dan menjunjung tinggi putra-putrinya
yang mampu menjalani kehidupan Kristiani seturut kehendak Allah, dan karenanya
menjadikan mereka teladan bagi setiap umat beriman. Momen penuh rahmat ini
merupakan momen yang bagus untuk memperbaharui komitmen hidup kita, untuk
selalu belajar dari orang kudus agar kita pun dapat terus berjalan di jalan
kekudusan.
Kebanyakan dari kita tentunya
sudah mengenal St. Monika sebagai seorang ibu yang tekun berdoa. Melalui doanya
yang tiada henti, yang disertai dengan bercucuran air mata, ia menggempur surga
dengan dua hal ini, demi pertobatan anaknya. Kita pun tahu bahwa
Penyelenggaraan ilahi telah menetapkan bahwa Monika, harus menanti dengan
sangat lama―lebih dari 10 tahun―agar Allah mengabulkan doanya.
Riwayat hidup St. Monika yang
lebih detil dapat kita baca dalam autobiografi rohani St. Agustinus, yang
dengan indah dan mendalam menuliskan kesaksian akan hidup dan kekudusan Monika.
Namun kali ini saya ingin memusatkan renungan ini pada dua hal ini saja:
bagaimana seorang Kristen hidup di dunia, namun tetap mengarahkan pandangannya
ke atas, ke arah hal-hal surgawi.
Ketika ajalnya mulai mendekat,
Monika berkata demikian kepada putranya yang terkasih:
“Anakku, bagiku ini tidak ada
lagi yang dapat memukauku dalam kehidupan ini. Apa lagi yang dapat kuperbuat di
dunia ini? Untuk apa aku di sini? Entahlah, tak ada lagi yang kuharapkan dari
dunia ini. Ada satu hal saja yang tadinya masih membuat aku ingin tinggal cukup
lama dalam kehidupan ini, yaitu melihat engkau menjadi Kristen Katolik sebelum
aku mati. Keinginanku sudah terkabulkan berlebihan dalam apa yang telah
diberikan Allah kepadaku: kulihat kau sudah sampai meremehkan kebahagiaan dunia
ini dan menjadi hamba-Nya. Apa yang kuperbuat lagi di sini?”
Dari sudut pandang orang modern,
kutipan St. Monika di atas tentu terdengar aneh. Secara umum, seorang ibu akan
mendoakan supaya anaknya berhasil di masa depan. Tentu berhasilnya di sini
berarti keberhasilan secara material atau duniawi. Seorang ibu akan berdoa
supaya anaknya hidup bahagia, menikah dan memiliki menantu serta cucu yang
baik, lalu juga berprestasi dalam karir.
Namun St. Monika berbeda. Selama
bertahun-tahun, yang ia inginkan dan mohonkan kepada Allah supaya putranya
bertobat dan memeluk iman Katolik, yang pernah dimiliki sejak kecil namun
ditinggalkannya ketika Agustinus memasuki masa remaja dan dewasa. St. Monika
terus memandang ke atas, ke hadirat Allah, memohon agar jiwa putranyanya
diselamatkan.
Hal ini menjadi menarik bila kita
mencermati bacaan Injil hari ini. Dikisahkan, ada seorang anak laki-laki
tunggal dari seorang ibu yang sudah janda. Anak laki-laki ini sudah mati, namun
Tuhan Yesus merasa kasihan melihat hal ini, sehingga Ia berkata “Hai anak muda,
aku berkata kepada-Mu, bangkitlah!”. Anak itu pun bangkit dari kematian. Dengan
mudah kitapun dapat mengenali bahwa kisah Injil tersebut sangat mirip dengan
pengalaman St. Monika dan St. Agustinus.
Beginilah sesungguhnya realita
kehidupan rohani setiap orang Kristen: mereka yang jauh dari Allah, mereka yang
berada dalam kondisi berdosa berat, sebenarnya mereka adalah orang-orang yang
mati secara rohani. Mereka hidup dalam kegelapan, mereka meraba-raba, berusaha
menemukan sesuatu yang dapat mengisi kekosongan di dalam hatinya. Namun apapun
yang dapat ditemukan dalam dunia ini―kekuasaan, uang, seks―bukanlah hal yang
dapat memuaskan kehidupan terdalam manusia. Seperti yang diungkapkan St.
Agustinus: “hati kami tak kunjung tenang, sampai beristirahat dalam Dikau.”
Hanya Allah yang dapat memenuhi kerinduan terdalam manusia, hal yang lainnya
tak akan pernah cukup.
Salahkah bila seorang ibu di
jaman modern mendoakan hal-hal yang sifatnya duniawi, seperti yang tadi saya
sebutkan? Tentu tidak salah, karena toh dalam kehidupan di dunia ini, manusia
memerlukan makanan, pekerjaan, uang, dan pendamping hidup. Semuanya ini adalah
kebutuhan manusia pada umumnya, dan tentu baik sekali bila seorang ibu
mendoakan anaknya. Tetapi semua ini akan menjadi salah, bila pertama-tama
seorang ibu tidak mendoakan keselamatan jiwa anak-anaknya. Bagaimanapun juga,
seorang ibu yang juga sekaligus seorang Katolik, bertanggung jawab dalam
pendidikan iman dan pertumbuhan kekudusan anak-anaknya.
Sekarang ini, tuntutan hidup di
jaman modern tidak jarang mengharuskan suami dan istri untuk bekerja. Peran
tradisional ketika hanya suami yang bekerja, lalu istri menjadi ibu rumah
tangga dan mengurus anak-anak, kelihatannya terlihat kuno dan ketinggalan
jaman. Menjadi ibu rumah tangga, bisa jadi tidak lagi dianggap sebagai suatu
panggilan yang mulia, melainkan sebagai penghalang bagi terwujudnya aktualisasi
diri. Tentunya saya tidak menyalahkan, atau menganggap istri yang bekerja
sebagai sebuah kesalahan ataupun dosa, karena Gereja tidak pernah menyatakan
demikian.
Selain itu, keluarga pun juga
sedang mengalami krisis. Ada kasus ketika keluarga muda yang baru memulai
bahtera rumah tangga, kemudian memutuskan untuk bercerai. Ada juga kasus lain
ketika ibu (dan ayah juga) yang membunuh atau menjual anaknya. Di tengah
situasi hidup yang demikian berat sekaligus menyedihkan, tampaknya peran iman
menjadi semakin terpinggirkan. Bukan tidak mungkin, manusia di jaman modern
mulai melupakan Allah, dan menyibukkan dirinya dengan hal-hal fana, berusaha bertahan
hidup dan mencukupi kebutuhannya. Tentu tidaklah mungkin bagi saya untuk
membahas semua persoalan itu, namun setidaknya ini memberikan gambaran pada
kita, betapa sulit menjadi seorang Kristen di masa kini, terlebih menjadi ayah
dan ibu!
Mari kita kembali pada teladan
St. Monika yang hendak kita renungkan. St. Monika adalah seorang pendoa yang
giat, dan juga seorang ibu yang sangat memperhatikan keselamatan jiwa anaknya.
Ketika seseorang mengemban peran sebagai ayah atau ibu, doa merupakan hal yang
penting bagi kehidupan rohani keluarga. Namun doa saja tidak cukup: partisipasi
dalam sakramen, khususnya dalam sakramen tobat dan Ekaristi, usaha untuk
mempelajari dan menghayati iman dalam keluarga, bertumbuh dalam
keutamaan-keutamaan Kristen, ketiganya berperan penting sebagai pengingat
identitas kita: kita adalah seorang peziarah di dunia ini. Kita, yang adalah
anggota Gereja Militan, juga harus berperang melawan godaan yang berasal dari
nafsu kedagingan, dunia dan kesombongan. Rahmat yang diberikan dalam sakramen,
serta doa dan studi iman, menjadi senjata penting dalam peperangan rohani kita.
Hanya dengan cara ini, kita dapat menemukan terang. Dengan cara ini pula, kita
dapat tetap hidup bersama Allah, sehingga Allah berdiam dalam kita, memegang
tangan kita dan menuntun kita ke dalam keabadian.
St. Monika memberikan kepada
kita, beberapa karakteristik doa yang perlu dimiliki setiap umat beriman.
Pertama, kita harus memiliki iman dan kepercayaan yang besar kepada Allah. Kita
percaya kepada Allah, karena Allah telah menyatakan diri-Nya kepada kita. Ia
bukanlah sosok yang jauh di masa lalu. Kemarin, kini, dan esok, Allah tetaplah
dekat pada kita. Kita dapat berbicara dan menyampaikan segala kegundahan dan
keresahan kita. Allah pun selalu berbicara kepada kita―terkadang dalam
kesunyian―dan kita perlu belajar untuk mendengarkan Dia dalam keheningan dan
permenungan juga.
Kepercayaan kita kepada Allah,
mengingatkan kita bahwa Allah dapat menjawab doa kita. Apakah yang tidak
mungkin ditolak oleh Allah? Allah tidak akan berkata “tidak” terhadap doa kita,
asalkan apa yang kita minta sungguh berguna bagi keselamatan kita. Kita perlu
memiliki kesadaran bahwa Allah mengabulkan doa mereka yang sungguh meminta
hal-hal yang benar, baik dan indah. Dan inilah karakteristik kedua dari doa:
yaitu bahwa kita harus meminta hal yang sungguh benar, baik, dan indah, sesuai
dengan hukum-Nya dan kehendak-Nya.
Kesaksian hidup St. Monika juga
menunjukkan pada kita bahwa seringkali kita perlu bersabar, karena Allah tidak
selalu mengabulkan atau memberikan jawaban terhadap setiap permohonan kita
dengan cepat. Kesabaran ini mengharuskan kita untuk tetap bertekun dalam doa,
karena seringkali dalam proses penantian ini, bisa jadi Tuhan ingin melihat
kegigihan kita dalam doa. Selain itu, diperlukan juga usaha kita dalam
mewujudkan apa yang kita minta kepada Tuhan. Jadi, karakteristik ketiga
berkenaan dengan ketekunan: ketekunan dalam doa, dan juga ketekunan dalam usaha
mewujudkan apa yang kita inginkan dari Allah.
Saya akan mengakhiri refleksi ini
dengan karakteristik terakhir dalam doa: harapan. Tema harapan ini terkait
dengan salah satu gelar Maria, yakni Stella Maris, yang berarti Bintang
Laut. Kehidupan seorang Kristen itu bagaikan seorang yang mengemudikan bahtera
di tengah laut, yang terkadang berbadai dan berombak yang ganas. Dalam
kehidupan yang tidak mudah ini, maka perlu sekali kita mengarahkan pandangan
kita ke atas, kepada Sang Bintang yang mengarahkan kita kepada tujuan akhir
kita: kehidupan kekal. Sekalipun dalam hidup kita terdapat momen-momen yang
gelap dan penuh kesulitan, seorang Kristen yang berdoa merupakan pribadi yang
juga memiliki harapan. Allah adalah pengharapan kita yang sejati, dan Ia
menuntun kita, salah satunya dengan memberikan kita teladan dari para kudus. Para
kudus adalah bintang-bintang di angkasa sejarah, dan dalam saat penuh rahmat
ini, marilah kita belajar dari teladan St. Monika, sembari tetap menjaga fokus
kita untuk mengutamakan perkara surgawi. Dengan mengarahkan hati kita kepada
Yesus dan para kudusnya, membaharui komitmen hidup rohani kita setiap harinya,
maka sungguh perkataan Rasul Paulus dapat terjadi: Spe Salvi facti sumus―dalam
pengharapan kita diselamatkan. Mari kita semua, secara khusus para ibu,
merenungkan secara mendalam pesta St. Monika hari ini. Amin.
0 comments:
Post a Comment