Monday, 31 August 2015

KESEJATIAN KELUARGA KATOLIK


 

MERENUNGKAN KESEJATIAN
KELUARGA KATOLIK

Salah satu dari sepuluh gagasan Bapa Paus Benediktus XVI mengenai tujuan keseluruhan dari kepausannya yang ditulis oleh John L. Allen, Jr, seorang koresponden untuk The National Chatolic Reporter dalam bukunya “10 Things Pope Benedict Wants to Know” (Paus Benediktus XVI Sepuluh Gagasan yang Mengubah Dunia) adalah bagaimana mempertahankan identitas autentik kristen atau identitas katolik di tengah dunia yang ditandai dengan relativisme religius dan nilai-nilai modernitas sekuler. Bapa Paus mengkha-watirkan beberapa lembaga katolik mungkin telah dipengaruhi dan dirasuki oleh nilai-nilai relativisme dan modernitas sekuler itu sehingga mereka tidak lagi sungguh-sungguh katolik.

Dalam pertemuan kali ini, kita ingin mengangkat persoalan identitas itu ke dalam renungan kita yaitu bagaimana kita mempertahankan keluarga kita sebagai keluarga katolik di tengah masyarakat. Atau bagaimana kita bisa memastikan dan menjamin bahwa keluarga kita sungguh-sungguh katolik dan akan tetap katolik ?

Kalau kita melihat catatan informasi warga ling-kungan St. Monica tahun 2015, kita memiliki 24 lebih keluarga katolik yang tinggal di dalam lingkungan kita. Dari jumlah itu pada umumnya telah berusia  lebih dari 10 tahun ke atas bahkan ada yang telah mencapai 29 tahun, meskipun ada satu dua keluarga yang masih berusia  dibawah 5 tahun (Balita). Pertanyaan intros-pektif kita adalah apakah kita sungguh-sungguh telah menjadi keluarga katolik dan bagaimana keluarga itu kita hayati khas katolik? Apakah lamanya waktu menjamin bahwa keluarga kita sungguh-sungguh telah menjadi katolik? Apakah setelah menerima sakramen perkawinan lalu dengan sendirinya menjadi keluarga katolik yang baik?

Keluarga Kristiani

Kalau kita merenungkan hidup berkeluarga, sebetulnya kita diajak mengingat kembali pangggilan pribadi kita  untuk mengasihi Allah. Dalam wahyu kristiani ada dua cara untuk mewujudkan panggilan pribadi yaitu dengan menikah (berkeluarga) atau dengan tidak menikah (selibat) yaitu hidup demi Kerajaan Allah. (Mat.19:12) Kedua panggilan ini masing-masing mempunyai caranya sendiri dalam mengungkapkan dan menghayati kasih kepada Allah namun keduanya saling mendukung dan menguatkan.

Menikah adalah pintu gerbang memasuki hidup berkeluarga.Tidak pernah ada keluarga tanpa tak pernah dimulai dengan sebuah perkawinan. Demikian pun keluarga katolik. Tidak akan pernah ada keluarga katolik tanpa tak pernah menikah secara katolik. Jadi menikah secara katolik menjadi penegasan hadirnya sebuah keluarga katolik baik itu secara sakramental (sakramen perkawinan)  maupun hanya pemberkatan perkawinan

Menikah secara sakramental kalau suatu keluarga dibangun melalui penerimaan sakramen perkawinan, karena hanya pasangan yang sudah dibaptislah yang bisa menerima sakramen. Sebaliknya bila salah satu dari pasangan tidak dibaptis mereka tidak bisa menerima sakramen perkawinan melainkan pemberkatan per-kawinan. Sebab yang tidak dibaptis belum mengimani diri sendiri sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah atau belum percaya kepada sakramen itu. Tetapi bila kemudian hari dia menjadi katolik (artinya percaya) maka otomatis perkawinan mereka menjadi perkawinan sakramental.

Sebagaimana kita tahu bahwa tanda dan sarana keselamatan dalam sakramen baptis adalah air, dalam sakramen penguatan adalah minyak, maka dalam sakramen perkawinan adalah pasangan itu sendiri. Tentu bagaimana mungkin mereka menjadi sarana dan tanda keselamatan Allah kalau salah satu dari mereka tidak katolik atau belum mengimani sakramen ? Oleh karena itu Gereja menghendaki agar calon mempelai dalam perkawinan adalah mereka yang sama-sama telah dibaptis katolik.

Dalam amanat apostuliknya yang berjudul Fa-miliaris Consortio 22 November 1981, Paus  Yohanes Paulus II (sekarang telah menjadi santo) menyebut keluarga kristiani sebagai persekutuan pribadi-pribadi yaitu persatuan antara suami-isteri berkat janji per-kawinan dan penerimaan sakramental, persatuan antara orang tua dengan anak dan persatuan antara sanak saudara. Menurut Bapa Paus, persatuan semacam ini hanya akan menjadi persatuan sejati (keluarga sejati) kalau persatuan itu dilandasi dan dijiwai oleh cintakasih. Tanpa dilandasi dan dijiwai cinta kasih, keluarga tidak akan bisa hidup, tumbuh dan ber-kembang apalagi sempurna. Cinta kasih merupakan azas batiniah yang membuat keluarga menemukan dinamismenya menuju keluarga yang otentik. Karena itu Bapa Paus Yohanes Paulus II dalam himbauanya mengatakan“ Keluarga jadilah sebagaimana seharusnya"

Kalau kita boleh berhenti sejenak dan mere-nungkan tentang cinta kasih yang melandasi dan menjiwai hidup keluarga kita, maka mungkin kita bertanya dalam hati: apakah cinta kasih yang dahulu mempersatukan kita sebagai suami isteri yang ke-mudian disempurnakan Allah menjadi cintakasih baru berkat Roh Kudus melalui sakramen perkawinan atau pemberkatan, masih hidup dan terasa kuat daya tariknya dalam keluarga kita? Hubungan suami-isteri yang dahulu indah penuh kesetiaan, pengorbanan, pengertian, apakah kini mulai membeku dan mengeras, sehingga suami-isteri masing-masing mementingkan egonya sendiri, tidak mau tahu perasaan dan kebutuhan suami atau isterinya? Komunikasi tidak sehangat dan selancar dulu? Demikian pun apakah hubungan kasih yang membeku dan mengeras juga terjadi diantara anak-anak dan antara orangtua dengan anak? Gejala-gejala bisa terlihat kalau masing-masing anggota ke-luarga sudah tidak lagi saling memberi perhatian satu dengan yang lain, atau tidak mau tahu dengan yang lain.

Perhatian Gereja terhadap Keluarga

Gereja Katolik hingga sekarang terus menerus memberi perhatian besar kepada keluarga-keluarga kristiani. Tanda-tanda perhatian sesungguhnya sudah lama diberikan terutama sejak Konsili Vatikan II (1963-1965) menyebut keluarga sebagai “Gereja Rumah Tangga” - Ecclesia Domestica- “hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG. 11,2) Para Uskup Amerika Latin misalnya pada pertemuan luar biasa di Puebla tahun 1979 juga menegaskan bahwa keluarga merupakan kunci keberhasilan penyebaran Injil. Sinode para Uskup yang diselenggarakan di Roma tanggal 26 September – 25 Oktober 1980 memandang keluarga sebagai persekutuan pertama yang dipanggil untuk memberitakan Injil kepada pribadi manusia sejak ia lahir, tumbuh dan berkembang di dalam keluarga. Bapa Paus Yohanes Paulus II melalui amanat apostulik “ Familiaris Consortio” yang dikeluarkan tanggal 22 Nopember 1981, mengajak keluarga kristiani untuk menyadari pentingnya nilai perkawinan dan keluarga dan menghayatinya dengan setia di tengah dunia modern saat ini.

Pada penutupan pertemuan keluarga inter-nasional di Mexico 18 Januari 2009, Bapa Paus Benediktus XVI mengajak keluarga-keluarga kristiani senantiasa melakukan instropeksi dan refleksi atas identitas dan tugas perutusannya sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan iman seperti dicontohkan oleh Keluarga Kudus dari Nazareth. Sinode Luar biasa di Roma 5-19 Oktober 2014 baru-baru ini yang melibatkan para uskup, imam, para religius pria, wanita dan umat awam dari Gereja partikular/keuskupan di seluruh dunia, juga membahas pentingnya panggilan dan misi Gereja terhadap kehidupan keluarga, pendidikan anak-anak, tantangan yang dihadapi keluarga dan peran keluarga dalam kehidupan Gereja. Sinode Luar Biasa ini masih akan dilanjutkan lagi di Philadelphia September 2015 mendatang.

Ketika berbicara kepada para peziarah dalam Audiensi Umum di Basilika Santo Petrus di Roma 12 Februari 2015, Bapa Suci Paus Fransiskus menyerukan kepada umat Katolik untuk mempertahankan keindahan keluarga besar, seraya mengajak pasangan suami-istri menjalani cinta mereka kepada Allah dan satu sama lain dengan menyambut setiap anak sebagai karunia dari Allah dalam iman, dan dalam sukacita yang sempurna” Beliau mengutip Kitab Nabi Yesaya 60: 4-5a) “Mereka semua datang berhimpun kepadamu; anak-anakmu laki-laki datang dari jauh, dan anak-anakmu perempuan digendong. Pada waktu itu engkau akan heran melihat dan berseri-seri, engkau akan tercengang dan akan berbesar hati, sebab kelimpahan”

            Pada kunjungannya ke Equador, Amerika Se-latan baru-baru ini Bapa Paus Fransiskus juga mene-kankan pentingnya nilai keluarga. “Keajaiban selalu terjadi setiap hari di dalam keluarga yang kekurangan kasih sayang. Akan tetapi kadang cinta kasih dan kesabaran bisa habis”. Demikian kata Bapa Paus ketika memberikan kotbahnya dalam misa massal di Guayaquil yang dihadiri lebih dari 500 ribu orang. Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa Gereja katolik sung-guh-sungguh memberikan perhatian besar terhadap  keluarga. 

Tugas Utama Keluarga Kristiani

Menurut Bapa Suci Yohanes Paulus II, ada 4 tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap keluarga kristiani. Tugas-tugas ini memberi kerangka bagi kita untuk menemukan kesejatian diri sebagai keluarga kristiani. Tugas itu ialah:

 (1) menjaga dan memelihara keutuhan keluarga dengan jiwa dan semangat cinta kasih. Tugas ini mengingatkan kita bahwa keutuhan keluarga meru-pakan konsekwensi dari janji suami-isteri yang telah kita ucapkan tatkala kita menerima sakramen per-kawinan yaitu persekutuan dalam seluruh hidup (consortium totius vitae) untuk saling menerima satu dengan yang lain. Persekutuan seluruh hidup ini kemudian diperluas dengan kehadiran anak-anak di tengah keluarga. Keluarga lalu menjadi bentuk hidup bersama yang harus terus menerus dipertahankan berdasarkan iman dan kasih serta kesediaan untuk saling mengembangkan pribadi satu sama lain. Persekutuan dalam keluarga ini hendaklah diwujudkan dengan senantiasa menjaga kerukunan, menciptakan saat-saat bersama, doa bersama, ekaristi bersama, bersama dalam suka dan duka, untung dan malang. Dengan cara ini maka keluarga kristiani akan menampilkan  bentuk persekutuan Gereja yang hidup (Koinonia) yaitu persekutuan iman, harapan dan kasih. (KGK 2204) 

(2) menerima, mengasuh, memelihara, mem-besarkan dan mendidikan anak yang lahir di tengah keluarga sebagai anugerah Tuhan. Tugas ini meng-ingatkan kita akan tanggungjawab yang harus kita emban berkaitan dengan kehadiran anak di tengah keluarga. Keluarga kristiani/orangtua mempunyai ke-wajiban disamping mengasuh, memelihara dan mem-besarkan anak, juga memberikan pendidikan terutama berkaitan dengan pendidikan iman katolik. Sebab kekatolikan sungguh akan nyata kalau nilai-nilai katolik ditanamkan dan diajarkan kepada anak-anak.

 Gereja katolik memandang keluarga kristiani adalah tempat di mana anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Keluarga kristiani adalah tempat untuk membina kebajikan manusia dan cinta kasih kristen (KGK 1666)  dan tempat dimana doa untuk pertama kali diajarkan kepada anak-anak (KGK 2685). Orangtua hendaknya mengajari dan mengajak anak-anak berdoa, teristimewa dalam hidup sehari-hari agar menjadi kebiasaaan. Kebiasaan doa yang berlangsung terus menerus akan menjadi “habit” atau budaya perilaku bukan saja bagi anak-anak tetapi juga bagi orangtua itu sendiri. 

Keluarga katolik yang mempunyai habit sema-cam ini akan menjawab pertanyaan kapan kita sungguh-sungguh menjadi keluarga katolik. Tentu saja habit semacam ini harus menjangkau hal-hal lain seperti misalnya dalam pelaksanaan pantang dan puasa sebagaimana selalu dianjurkan oleh Gereja pada saat masa Prapaskah. Banyak kesan aturan pantang dan puasa tidak terlalu serius disikapi dan dijalani dengan baik. Bapa Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa lembaga-lembaga katolik- tentu termasuk keluarga - akan sungguh menjadi lembaga katolik kalau lembaga-lembaga itu dihidupi dan dijiwai oleh tradisi katolik.

3) mengambil bagian dalam hidup dan per-utusan Gereja. Tugas ini mengingatkan kita akan martabat Kristus yang telah kita terima melalui sakra-men baptis. Setiap orang yang menerima sakramen baptis, ia menerima 3 martabat Kristus yaitu martabat imamat, kenabian dan rajawi. Dengan martabat imamat, setiap anggota keluarga mempunyai tugas mengu-duskan hidup dan memberi kesaksian hidup suci caranya dengan lebih sering menyambut sakramen-sakramen dan menghayati hidup doa (KGK 1657, LG.10) Orang tua, anak bahkan setiap anggota keluarga hendaknya lebih kerap menerima sakramen ekaristi dan menerima sakramen pengampunan dosa. Di dalam keluarga hendaknya dipupuk hidup doa baik hidup doa pribadi maupun bersama. Dengan cara ini keluarga kristiani telah menampilkan pelaksanaan tugas pengu-dusan sebagaimana Gereja lakukan (leiturgia)

Dengan martabat kenabian, keluarga mempu-nyai tugas mewartakan injil . Untuk itu orangtua dan anggota keluarga harus lebih sering mendengar sabda Tuhan, lebih sering membaca Kitab Suci, merenung-kannya, menghayati dan tentu saja mewartakannya. Dengan cara itu, bukan saja habit dibentuk, tetapi juga hari demi hari keluarga menjadi persekutuan yang hidup dan dikuduskan oleh Sabda Tuhan. Disadari memang bahwa tidak mudah memahami Kitab Suci, maka diharapkan keluarga katolik ikut aktif dalam setiap ada pendalaman Kitab Suci seperti pada Bulan September, bulan Kitab Suci. Keluarga seperti Gereja harus menjadi tempat Injil disalurkan dan dipancarkan sinarnya kepada keluarga-keluarga lain dan lingkungan sekitarnya (kerygma).

            Dengan martabat rajawi keluarga mempunyai tugas untuk melayani sesama. Keluarga kristiani hen-daknya menyadari bahwa keluarga mereka dibentuk dan dijiwai oleh kasih yang tidak hanya mempersatukan anggota keluarga, tetapi juga mendorong mereka untuk saling melayani, saling memperhatikan, saling mengu-atkan. Akan tetapi kasih hendaknya juga berkembang dan berbuah di dalam kehidupan sesama terutama di dalam mereka yang papa dan miskin. Inilah tujuan pelayanan kasih.  Oleh sebab itu keluarga kristiani hendaknya senantiasa menyediakan diri untuk melayani setiap orang sebagai pribadi dan anak Allah. Santo Yohanes Paulus II dalam Amanat Apostuliknya Fa-milaris Consortio menyebut keluarga kristiani sebagai “sekolah keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan masyarakat (FC.36) Keluarga yang dengan setia me-laksanakan martabat rajawi, keluarga ini telah melak-sanakan fungsi diakonia sebagaimana Gereja melak-sanakannya.

(4) ikut serta mengambil peran dalam kehidupan masyarakat dengan tugas-tugas sosial. Tugas dan partisipasi kita dalam kehidupan masyarakat bukan saja untuk menjawab tanggungjawab kita terhadap kebutuhan hidup keluarga, tetapi juga merupakan kesempatan untuk memberikan kesaksian tentang hidup beriman kita dengan berani menyurakan kebenaran, kritis terhadap berbagai ketidakadilan dan tindakan kekerasan yang merendahkan martabat manusia dan merugikan masyarakat umum. Jadi tidak hanya merupakan kesempatan untuk memperlihatkan perkataan dan perbuatan baik yang bersumber dari iman kita. Oleh karena itu keluarga kristiani harus siap berani menanggung resiko yang muncul dari iman yang kita hayati dalam bermasyarakat. Janganlah terjadi alih-alih memberikan kesaksian tentang iman kita, malahan kita memberikan kesaksian tentang iman orang lain dengan meninggalkan iman kita seperti mereka yang pindah agama. Kesaksian untuk menerima resiko ini merupakan bagian dari tugas Gereja yaitu martyria.

Kesimpulan

Bila tugas-tugas keluarga ini kita laksanakan dan hayati dengan baik, maka keluarga kita juga telah melaksanakan 5 (lima) fungsi Gereja yaitu koinonia, diakonia, kerygma, leiturgia dan martyria) dan dengan demikian menjadi pusat iman yang hidup (KGK 1656).  Karena itu tepatlah Konsili Vatikan II menyebut keluarga kristiani sebagai Ecclesia Domestica “ Gereja Rumah Tangga” dan mengharapkan agar setiap orangtua kristiani menjadi pewarta iman di dalam keluarganya dengan perkataan, perbuatan dan teladan hidup dan senantiasa memelihara panggilan anggota keluarganya masing-masing teristimewa panggilan rohani. (LG. 11,2). Tentu bagi kita pertanyaannya : sudahkah keluarga kita sungguh mejadi pusat iman yang hidup sehingga pantas disebut “Ecclesia Domes-tica” (Gereja Rumah Tangga )?

Sekalipun tidak dengan mudah kita melak-sanakan tugas keluarga sebagai Ecclesia Domestica, namun kesejatian diri sebagai keluarga katolik tetap bisa memancar dari keluarga kita kalau kita juga tak pernah berhenti melakukan dan menghayati tradisi katolik yang telah berlangsung berabad-abad lamanya di dalam Gereja kita. Gereja katolik kaya akan tradisi seperti kebiasaan doa rosario, doa novena, doa bersama keluarga, ziarah. Adorasi dan lain sebagainya. Tradisi  suci sebagai kebiasaan akan sangat membantu kita memperkuat dan memperdalam iman kita. Tanpa kebiasaan tak pernah terjadi habit dan tanpa habit, keluarga kita tak akan menjadi segar dan hidup. Keluarga kita akan menjadi kering dan akan mudah dihinggapi apa yang menjadik kekawatiran Bapa Paus Benediktus yaitu relativisme religius dan berkembang-nya nilai-nilai modernitas sekuler.

Catatan tentang Sakramen Perkawinan

 

Sakramen Perkawian.

       Sakramen perkawinan sesungguhnya telah direncanakan Allah sejak awal mula penciptaan ma-nusia. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perem-puan menurut gambar dan rupaNya (Kej.1:26-27) agar mereka bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej.2:24) dan beranak cucu serta bertambah banyak sehingga bumi ini dipenuhi dan ditaklukan.(Kej. 1:28) Sebagai rupa dan gambar Allah maka panggilan untuk bersatu ini harus didasari kasih karena Allah sendiri yang menciptakan pria dan wanita adalah kasih (1Yoh.4:8) dan kasih Allah itu tidak pernah berkesudahan.

Dalam mewujudkan kasih sebagai dasar per-satuan pria dan wanita, Allah sendiri memberikan con-toh kepada kita yaitu kasih dalam hubungan Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus (Trinitas). Karena begitu besar kasih Allah kepada dunia sehingga Ia mengutus PuteraNya yang tunggal - yang adalah Yesus - ke dalam dunia untuk menebus manusia dari dosa dan yang percaya kepadaNya memperoleh keselamatan (Yoh. 3:16). Yesus yang adalah Allah Putera mewu-judkan kasih Allah Bapa melalui dan dalam Dia dengan setia bahkan sampai wafat di salib untuk tebusan ba-nyak orang dengan wafat di kayu salib (Mrk.10:45; Mat.20:28). Kesempurnaan kasih Allah Putera sewujud total dengan kasih Allah Bapa yang mengutusNya. Oleh karena itu Yesus berkata: barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia yang telah mengutus Aku”. (Yoh. 12:45)

Kasih Allah Bapa kepada manusia tak pernah  berhenti dan tak mungkin berhenti karena Allah Bapa setia selama-lamanya sehingga melalui dan dalam PuteraNya Ia mengutus Roh Kudus setelah naik ke sorga seperti dijanjikan Yesus kepada para rasul: “ Semuanya itu Kukatakan kepadamu selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu, tetapi Penghibur yaitu Roh Kudus yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepa-damu.... ”(Yoh. 14:25-26) Roh Kudus inilah yang terus menerus memelihara cinta, menyalakan cinta bila cinta itu meredup, mengarahkan cinta bila cinta itu tersesat, menyegarkan cinta bila cinta itu layu agar dengan demikian manusia akan tetap mencintai Allah dan tidak jatuh kembali ke dalam dosa hingga akhirnya mencapai keselamatan. Hubungan kasih yang amat dalam ini menjadi pola dan dasar penghayatan persatuan antara pria dan wanita. 

Rencana Allah tentang perkawinan, tidak dengan mudah diterapkan karena kelemahan dan dosa manusia. Dalam zaman nabi Musa, ada begitu banyak orang meminta surat cerai, dan nabi Musa pun mem-berikannya. Namun Allah tetap tidak merubah renca-naNya. Allah tetap menghendaki perkawinan tak boleh diceraikan. Hal ini ditegaskan Yesus dalam Perjanjian Baru :“Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat.19:5-6) Kalau perceraian pada waktu itu terjadi, hanya karena kategaran hati orang yang memaksa nabi Musa mengizinkannya.

Rencana Allah tentang sakramen perkawinan menunjuk jelas bahwa sakramen perkawinan katolik yang berdasarkan wahyu Allah bersifat monogam dan tidak terceraikan dan dibangun atas dasar kasih yang berpolakan hubungan kasih sempurna Allah Tritunggal dan dihayati model cinta Kristus kepada umatNya. Oleh karena itu Allah dalam rencanaNya menggambarkan hubungan kasih pasangan pria dan wanita seperti hubungan kasih Allah dengan umatNya yang penuh dengan kesetiaan. Sekalipun bangsa Israel berulang kali berkhianat namun Allah tetap mencintainya dengan kasih setiaNya yang tak pernah pudar. Dengan indah nabi Yehezkiel melukiskan kasih-setia Allah kepada Israel (Yerusalem) dengan menjadikan kota/bangsa itu isteriNya (Yeh.16 : 3-14). Demikian pula nabi-nabi yang lain seperti Nabi Yesaya ( Yes. 54: 6 – dst) Nabi Yeremia ( Yer. 2: 2 ) Nabi Hosea ( Hos. 2: 19) Akhirnya nilai-nilai perkawinan sebagaimana dilukiskan dalam Perjanjian Lama disempurnakan oleh Yesus atau diangkat ke dalam tata keselamatan baru melalui wafat dan kebangkitanNya menjadi gambaran hubungan kasihNya dengan GerejaNya (Ef. 5:32) dan menguduskannya untuk selama-lamanya (Ef. 5:25) 

Rencana Allah tentang sakramen perkawinan menunjukkan kepada kita bahwa perkawinan katolik sesungguhnya bukan hanya bersifat kodrati, melainkan juga bersifat ilahi, karena di dalam perkawinan pasangan katolik tidak hanya mengucapkan janji untuk saling mencintai, saling memberikan diri, saling   setia dalam untung dan malang sampai kematian memi-sahkan mereka (tidak akan bercerai) melainkan hidup mereka itu sendiri menjadi tanda dan sarana kese-lamatan. Allah menghendaki agar kasihNya yang me-nyelamatkan dihayati dan dinyatakan dalam hidup mereka, sebagaimana Allah mencintai umatNya.

 Oleh karena itu pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan, mereka itu harus  menjadi tanda kasih Tuhan, satu bagi yang lain. Suami menjadi tanda kasih Tuhan bagi isteri, dan isterinya bagi suaminya. Demikian ini juga berlangsung bagi anak-anaknya dan anggota keluarganya. Kasih Tuhan itu harus juga bisa terlihat dan menjadi contoh bagi setiap orang yang berjumpa. Konsekwensinya ialah tak pernah dibenarkan bila suami-isteri memperlihatkan perilaku yang jauh dari kasih Allah apalagi mengingkarinya. Bila mengam-bil cotoh sederhana, adalah menyedihkan bila suami isteri terus menerus bertengkar, diam-diaman, ‘ngrum-pi’ keburukan suami atau isterinya sendiri apalagi “pisah ranjang”, atau cerai. Sebab dengan cara demikian kasih karunia Tuhan yang telah diberikan Allah kepada mereka menjadi sia-sia, kurang bersinar, meredup atau bahkan padam. Singkat kata bagaimana bisa menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi mereka sendiri dan orang lain kalau mereka tidak bisa memperlihatkan kasih diantara mereka?

Rencana Allah tentang sakramen perkawinan juga memberikan gambaran kepada kita bahwa pa-sangan suami isteri adalah mitra kerja Allah dalam karya penciptaan. Allah mengangkat mereka untuk ikut serta mengambil bagian dalam karya penciptaan yaitu penciptaan manusia. Karena itu persatuan suami-isteri menjadi tanda kehadiran Tuhan bila mereka dalam bekerjasama dengan Tuhan mendatangkan kehidupan baru (anak) yaitu manusia baru yang lahir dari kasih persatuan suami-isteri dan mendapat tugas dan tang-gungjawab untuk mengasuh, memelihara membe-sarkan dan mendidik anak-anak mereka. 

Akhirnya rencana Allah tentang sakramen per-kawinan mengingatkan kita akan tugas/pekerjaan yang harus dilakukan oleh suami-isteri yaitu mengelola bumi. Artinya suami isteri mempunyai tugas dan kewajiban untuk saling menciptakan dan memberikan kesejah-teraan satu dengan yang lain dan pada gilirannya juga bagi anak yang lahir dari perkawinan.

Bila kita menyimpulkan rencana Allah mengenai sakramen perkawinan, maka kita diingatkan bahwa perkawinan katolik menggambarkan persatuan Kristus dan GerejaNya. Karena itu suami isteri harus saling menguduskan sebagaimana Kristus dan GerejaNya kudus.  Berkat sakramen perkawinan, maka perkawinan katolik berlangsung seumur hidup, bersifat unitas /monogam ( satu suami satu isteri dan tak boleh diceraikan oleh kuasa manapun (indissolubilitas), serta diteguhkan menurut tatacara Gereja katolik (forma canonica. Dalam sakramen perkawinan suami isteri siap menjadi mitra kerja Allah bukan hanya dalam penciptaan (lahirnya manusia baru) tetapi juga dalam pengelolaan ciptaan dalam rangka saling mensejah-terakan satu dengan yang lain. Pun pula kepada anak sebagai anugerah Tuhan.




0 comments:

Post a Comment