MERENUNGKAN KESEJATIAN
KELUARGA KATOLIK
Salah satu dari sepuluh
gagasan Bapa Paus Benediktus XVI mengenai tujuan keseluruhan dari kepausannya
yang ditulis oleh John L. Allen, Jr, seorang koresponden untuk The National
Chatolic Reporter dalam bukunya “10
Things Pope Benedict Wants to Know” (Paus Benediktus XVI Sepuluh Gagasan
yang Mengubah Dunia) adalah bagaimana mempertahankan identitas
autentik kristen atau identitas katolik di tengah dunia yang ditandai dengan
relativisme religius dan nilai-nilai modernitas sekuler. Bapa Paus
mengkha-watirkan beberapa lembaga katolik mungkin telah dipengaruhi dan
dirasuki oleh nilai-nilai relativisme dan modernitas sekuler itu sehingga
mereka tidak lagi sungguh-sungguh katolik.
Dalam pertemuan kali
ini, kita ingin
mengangkat persoalan identitas itu ke dalam renungan kita yaitu bagaimana kita mempertahankan
keluarga kita sebagai keluarga katolik di tengah masyarakat. Atau bagaimana kita bisa
memastikan dan menjamin bahwa keluarga kita sungguh-sungguh katolik dan akan
tetap katolik ?
Kalau kita melihat catatan
informasi warga ling-kungan St. Monica tahun 2015, kita memiliki 24 lebih
keluarga katolik yang tinggal di dalam lingkungan kita. Dari jumlah itu pada
umumnya telah berusia lebih dari 10 tahun
ke atas bahkan ada yang telah mencapai 29 tahun, meskipun ada satu dua keluarga
yang masih
berusia dibawah 5 tahun (Balita). Pertanyaan intros-pektif kita adalah apakah kita
sungguh-sungguh telah menjadi keluarga katolik dan bagaimana keluarga itu kita
hayati khas katolik? Apakah lamanya waktu menjamin bahwa keluarga kita
sungguh-sungguh telah menjadi katolik? Apakah setelah menerima sakramen
perkawinan lalu dengan sendirinya menjadi keluarga katolik yang baik?
Keluarga
Kristiani
Kalau kita merenungkan hidup
berkeluarga, sebetulnya kita diajak
mengingat kembali pangggilan
pribadi kita untuk mengasihi Allah.
Dalam wahyu kristiani ada dua cara untuk mewujudkan panggilan pribadi yaitu dengan menikah
(berkeluarga) atau dengan tidak menikah (selibat) yaitu hidup demi Kerajaan Allah. (Mat.19:12) Kedua panggilan ini masing-masing mempunyai caranya sendiri dalam mengungkapkan dan
menghayati kasih kepada Allah namun keduanya saling mendukung dan menguatkan.
Menikah adalah pintu
gerbang memasuki hidup berkeluarga.Tidak pernah ada keluarga tanpa tak pernah dimulai dengan sebuah perkawinan. Demikian pun
keluarga katolik. Tidak akan pernah ada keluarga katolik tanpa tak pernah
menikah secara katolik. Jadi menikah secara katolik menjadi penegasan hadirnya
sebuah keluarga katolik baik itu secara sakramental (sakramen perkawinan) maupun hanya pemberkatan perkawinan
Menikah secara
sakramental kalau
suatu keluarga dibangun melalui penerimaan sakramen perkawinan, karena hanya
pasangan yang sudah dibaptislah yang bisa menerima sakramen. Sebaliknya bila salah satu
dari pasangan tidak dibaptis mereka tidak bisa menerima
sakramen perkawinan melainkan pemberkatan per-kawinan. Sebab yang tidak
dibaptis belum mengimani diri sendiri sebagai tanda dan sarana keselamatan
Allah atau belum percaya kepada sakramen itu. Tetapi bila kemudian hari dia
menjadi katolik (artinya percaya) maka otomatis perkawinan mereka menjadi
perkawinan sakramental.
Sebagaimana kita tahu bahwa
tanda dan sarana keselamatan dalam sakramen baptis adalah air, dalam sakramen
penguatan adalah minyak, maka dalam sakramen perkawinan adalah pasangan itu
sendiri. Tentu bagaimana mungkin mereka menjadi sarana dan tanda keselamatan Allah
kalau salah satu dari mereka tidak katolik atau belum mengimani sakramen ? Oleh
karena itu Gereja menghendaki agar calon mempelai
dalam perkawinan adalah mereka yang
sama-sama telah dibaptis katolik.
Dalam amanat apostuliknya yang berjudul Fa-miliaris Consortio 22 November 1981,
Paus Yohanes Paulus II (sekarang telah
menjadi santo) menyebut keluarga kristiani sebagai persekutuan pribadi-pribadi
yaitu persatuan antara suami-isteri berkat janji per-kawinan dan penerimaan sakramental, persatuan antara orang tua dengan anak
dan persatuan antara sanak saudara.
Menurut Bapa Paus, persatuan semacam ini hanya akan menjadi persatuan sejati
(keluarga sejati) kalau persatuan itu dilandasi dan dijiwai oleh cintakasih. Tanpa
dilandasi dan dijiwai cinta kasih, keluarga tidak akan bisa hidup, tumbuh dan
ber-kembang apalagi sempurna. Cinta kasih merupakan azas batiniah yang membuat
keluarga menemukan dinamismenya
menuju keluarga yang otentik. Karena itu Bapa Paus Yohanes Paulus II dalam himbauanya mengatakan“ Keluarga
jadilah sebagaimana seharusnya"
Kalau kita boleh berhenti sejenak dan mere-nungkan tentang cinta kasih yang melandasi dan menjiwai hidup keluarga
kita, maka mungkin kita bertanya dalam hati: apakah cinta kasih yang dahulu
mempersatukan kita sebagai suami isteri yang ke-mudian disempurnakan Allah
menjadi cintakasih baru berkat Roh Kudus melalui sakramen perkawinan atau
pemberkatan, masih hidup dan terasa kuat daya tariknya dalam keluarga kita? Hubungan suami-isteri yang dahulu
indah penuh kesetiaan, pengorbanan, pengertian, apakah kini mulai membeku dan
mengeras, sehingga suami-isteri masing-masing mementingkan egonya sendiri,
tidak mau tahu perasaan dan kebutuhan suami atau isterinya? Komunikasi tidak sehangat dan selancar dulu? Demikian pun apakah
hubungan kasih yang membeku dan mengeras juga terjadi diantara anak-anak dan antara orangtua
dengan anak? Gejala-gejala bisa terlihat kalau masing-masing anggota
ke-luarga sudah tidak lagi saling memberi perhatian satu dengan yang lain,
atau tidak mau tahu dengan yang lain.
Perhatian Gereja
terhadap Keluarga
Gereja
Katolik hingga sekarang terus menerus memberi perhatian besar kepada keluarga-keluarga
kristiani. Tanda-tanda perhatian sesungguhnya sudah lama diberikan terutama sejak Konsili
Vatikan II (1963-1965) menyebut keluarga sebagai “Gereja Rumah Tangga” - Ecclesia Domestica- “hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman
pertama bagi anak-anak mereka; orang tua wajib memelihara panggilan mereka
masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG. 11,2) Para Uskup Amerika Latin misalnya pada pertemuan luar biasa di Puebla
tahun 1979 juga menegaskan bahwa keluarga merupakan kunci keberhasilan penyebaran Injil. Sinode para
Uskup yang diselenggarakan di Roma tanggal 26 September – 25 Oktober 1980
memandang keluarga sebagai persekutuan pertama yang dipanggil untuk
memberitakan Injil kepada pribadi manusia sejak ia lahir, tumbuh dan berkembang
di dalam keluarga. Bapa Paus Yohanes Paulus II melalui amanat apostulik “ Familiaris Consortio” yang dikeluarkan
tanggal 22 Nopember 1981, mengajak keluarga kristiani untuk menyadari
pentingnya nilai perkawinan dan keluarga dan menghayatinya dengan setia di
tengah dunia modern saat ini.
Pada penutupan
pertemuan keluarga inter-nasional di Mexico
18 Januari 2009, Bapa Paus Benediktus
XVI mengajak
keluarga-keluarga kristiani senantiasa melakukan instropeksi dan refleksi atas
identitas dan tugas perutusannya sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan
iman seperti dicontohkan oleh Keluarga
Kudus dari Nazareth. Sinode Luar biasa di Roma 5-19 Oktober
2014 baru-baru ini yang melibatkan para uskup, imam, para religius pria, wanita
dan umat awam dari Gereja partikular/keuskupan di seluruh dunia, juga membahas
pentingnya panggilan dan misi Gereja
terhadap kehidupan keluarga, pendidikan anak-anak, tantangan yang dihadapi keluarga dan
peran keluarga dalam kehidupan Gereja. Sinode Luar Biasa ini masih akan dilanjutkan lagi di
Philadelphia September 2015 mendatang.
Ketika berbicara kepada para peziarah
dalam Audiensi Umum di Basilika Santo Petrus di Roma 12 Februari 2015, Bapa
Suci Paus Fransiskus menyerukan kepada umat Katolik untuk mempertahankan
keindahan keluarga besar, seraya mengajak pasangan suami-istri menjalani cinta
mereka kepada Allah dan satu sama lain dengan menyambut setiap anak sebagai
karunia dari Allah dalam iman, dan dalam sukacita yang sempurna” Beliau mengutip Kitab Nabi Yesaya 60: 4-5a) “Mereka
semua datang berhimpun kepadamu; anak-anakmu laki-laki datang dari jauh, dan
anak-anakmu perempuan digendong. Pada waktu itu engkau akan heran melihat dan
berseri-seri, engkau akan tercengang dan akan berbesar hati, sebab kelimpahan”
Pada kunjungannya ke Equador, Amerika Se-latan baru-baru ini Bapa Paus Fransiskus juga mene-kankan pentingnya nilai keluarga. “Keajaiban selalu
terjadi setiap hari di dalam keluarga yang kekurangan kasih sayang. Akan tetapi
kadang cinta kasih dan kesabaran bisa habis”. Demikian kata Bapa Paus ketika
memberikan kotbahnya dalam misa massal di Guayaquil yang dihadiri lebih dari
500 ribu orang. Semua
ini menunjukkan kepada kita bahwa Gereja katolik sung-guh-sungguh memberikan
perhatian besar terhadap keluarga.
Tugas Utama Keluarga Kristiani
Menurut Bapa Suci
Yohanes Paulus II, ada 4 tugas utama
yang harus dijalankan oleh setiap keluarga kristiani. Tugas-tugas ini memberi kerangka bagi kita untuk menemukan kesejatian
diri sebagai keluarga kristiani. Tugas itu ialah:
(1) menjaga dan memelihara keutuhan keluarga
dengan jiwa dan semangat cinta kasih. Tugas ini
mengingatkan kita bahwa keutuhan keluarga meru-pakan konsekwensi dari janji suami-isteri yang telah kita ucapkan tatkala
kita menerima sakramen per-kawinan yaitu
persekutuan dalam seluruh hidup (consortium totius vitae) untuk saling menerima satu dengan yang lain. Persekutuan
seluruh hidup ini kemudian diperluas dengan kehadiran
anak-anak di tengah keluarga. Keluarga lalu menjadi bentuk
hidup bersama yang harus terus menerus dipertahankan berdasarkan iman dan kasih
serta kesediaan untuk saling mengembangkan pribadi satu sama lain. Persekutuan dalam
keluarga ini hendaklah diwujudkan dengan senantiasa menjaga kerukunan,
menciptakan saat-saat bersama, doa bersama, ekaristi
bersama, bersama dalam suka dan duka, untung dan malang. Dengan cara ini maka keluarga kristiani akan menampilkan bentuk persekutuan Gereja yang hidup (Koinonia)
yaitu persekutuan iman, harapan dan kasih. (KGK 2204)
(2) menerima, mengasuh, memelihara, mem-besarkan dan mendidikan
anak yang lahir di tengah keluarga sebagai anugerah Tuhan. Tugas ini meng-ingatkan kita akan
tanggungjawab yang harus kita emban berkaitan dengan kehadiran anak di tengah
keluarga. Keluarga kristiani/orangtua mempunyai ke-wajiban disamping mengasuh, memelihara dan mem-besarkan anak, juga memberikan pendidikan terutama berkaitan dengan
pendidikan iman katolik. Sebab kekatolikan sungguh akan nyata kalau nilai-nilai
katolik ditanamkan dan diajarkan kepada anak-anak.
Gereja katolik memandang keluarga
kristiani adalah tempat di mana anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai
iman. Keluarga kristiani adalah tempat untuk membina kebajikan manusia dan
cinta kasih kristen (KGK 1666) dan
tempat dimana doa untuk pertama kali diajarkan kepada anak-anak (KGK 2685). Orangtua
hendaknya mengajari dan mengajak anak-anak berdoa, teristimewa dalam hidup
sehari-hari agar menjadi kebiasaaan. Kebiasaan doa yang berlangsung terus menerus akan menjadi “habit” atau budaya perilaku bukan saja
bagi anak-anak tetapi juga bagi orangtua itu sendiri.
Keluarga katolik yang mempunyai habit sema-cam ini akan menjawab pertanyaan kapan kita sungguh-sungguh menjadi
keluarga katolik. Tentu saja habit
semacam ini harus menjangkau hal-hal lain seperti misalnya dalam pelaksanaan
pantang dan puasa sebagaimana selalu dianjurkan oleh Gereja pada saat masa
Prapaskah.
Banyak kesan aturan pantang dan puasa tidak terlalu
serius disikapi dan dijalani dengan baik. Bapa Paus Benediktus
XVI mengatakan bahwa lembaga-lembaga katolik- tentu termasuk keluarga - akan sungguh menjadi lembaga katolik
kalau lembaga-lembaga itu dihidupi dan dijiwai oleh tradisi katolik.
3) mengambil bagian
dalam hidup dan per-utusan Gereja. Tugas ini
mengingatkan kita akan martabat Kristus yang telah kita terima melalui sakra-men baptis. Setiap orang yang menerima sakramen baptis, ia menerima 3
martabat Kristus yaitu martabat imamat, kenabian dan rajawi. Dengan martabat imamat, setiap anggota keluarga mempunyai tugas mengu-duskan hidup dan memberi kesaksian hidup suci caranya dengan lebih sering
menyambut sakramen-sakramen dan menghayati hidup doa (KGK 1657, LG.10) Orang
tua, anak bahkan setiap anggota keluarga hendaknya lebih kerap menerima
sakramen ekaristi dan menerima sakramen pengampunan dosa. Di dalam keluarga
hendaknya dipupuk hidup doa baik hidup doa pribadi maupun bersama. Dengan cara ini keluarga kristiani telah menampilkan pelaksanaan tugas
pengu-dusan sebagaimana Gereja lakukan (leiturgia)
Dengan martabat kenabian, keluarga mempu-nyai tugas mewartakan injil . Untuk itu orangtua
dan anggota keluarga harus lebih sering mendengar sabda Tuhan, lebih sering
membaca Kitab Suci, merenung-kannya, menghayati
dan tentu saja mewartakannya. Dengan cara itu, bukan saja habit dibentuk,
tetapi juga hari demi hari keluarga menjadi persekutuan yang hidup dan
dikuduskan oleh Sabda Tuhan. Disadari memang bahwa tidak mudah
memahami Kitab Suci, maka diharapkan keluarga katolik ikut aktif dalam setiap
ada pendalaman Kitab Suci seperti pada Bulan September, bulan Kitab Suci.
Keluarga seperti Gereja harus menjadi tempat Injil disalurkan dan dipancarkan
sinarnya kepada keluarga-keluarga lain dan lingkungan sekitarnya (kerygma).
Dengan
martabat rajawi keluarga mempunyai tugas untuk melayani sesama. Keluarga
kristiani hen-daknya menyadari bahwa keluarga
mereka dibentuk dan dijiwai oleh kasih yang tidak hanya mempersatukan anggota
keluarga, tetapi juga mendorong mereka untuk saling melayani, saling
memperhatikan, saling mengu-atkan. Akan tetapi kasih hendaknya juga berkembang dan berbuah di dalam kehidupan sesama terutama di dalam mereka yang papa dan miskin. Inilah tujuan pelayanan
kasih. Oleh sebab
itu keluarga kristiani hendaknya senantiasa menyediakan diri untuk melayani
setiap orang sebagai pribadi dan anak Allah. Santo Yohanes Paulus II dalam
Amanat Apostuliknya Fa-milaris Consortio menyebut keluarga kristiani
sebagai “sekolah keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan masyarakat (FC.36)
Keluarga yang dengan setia me-laksanakan martabat rajawi,
keluarga ini telah melak-sanakan fungsi diakonia
sebagaimana Gereja melak-sanakannya.
(4) ikut serta
mengambil peran dalam kehidupan masyarakat dengan tugas-tugas sosial. Tugas dan partisipasi kita dalam kehidupan masyarakat bukan saja untuk
menjawab tanggungjawab kita terhadap kebutuhan hidup keluarga, tetapi juga
merupakan kesempatan untuk memberikan kesaksian tentang hidup beriman kita
dengan berani menyurakan kebenaran, kritis terhadap berbagai ketidakadilan dan
tindakan kekerasan yang merendahkan martabat manusia dan merugikan masyarakat
umum. Jadi tidak hanya merupakan kesempatan untuk memperlihatkan perkataan dan
perbuatan baik yang bersumber dari iman kita. Oleh karena itu keluarga
kristiani harus siap berani menanggung resiko yang muncul dari iman yang kita
hayati dalam bermasyarakat. Janganlah terjadi alih-alih memberikan kesaksian tentang
iman kita, malahan kita memberikan kesaksian tentang iman orang lain dengan
meninggalkan iman kita seperti mereka yang pindah agama. Kesaksian untuk
menerima resiko ini merupakan bagian dari tugas Gereja yaitu martyria.
Kesimpulan
Bila tugas-tugas keluarga ini kita laksanakan dan hayati dengan baik, maka keluarga
kita juga telah melaksanakan 5 (lima) fungsi Gereja yaitu
koinonia, diakonia, kerygma, leiturgia dan martyria) dan dengan
demikian menjadi pusat iman yang hidup (KGK
1656). Karena itu tepatlah Konsili Vatikan II menyebut keluarga
kristiani sebagai Ecclesia Domestica
“ Gereja Rumah Tangga” dan mengharapkan agar setiap
orangtua kristiani menjadi
pewarta iman di dalam keluarganya dengan perkataan,
perbuatan dan teladan hidup dan senantiasa memelihara panggilan anggota
keluarganya masing-masing teristimewa panggilan rohani. (LG.
11,2). Tentu bagi kita pertanyaannya : sudahkah keluarga kita sungguh mejadi pusat iman
yang hidup sehingga pantas disebut “Ecclesia Domes-tica” (Gereja Rumah Tangga )?
Sekalipun tidak
dengan mudah kita melak-sanakan tugas keluarga sebagai Ecclesia Domestica,
namun kesejatian diri sebagai keluarga katolik tetap bisa memancar dari
keluarga kita kalau kita juga tak pernah berhenti melakukan dan menghayati
tradisi katolik yang telah berlangsung berabad-abad lamanya di dalam Gereja
kita. Gereja katolik kaya akan tradisi seperti kebiasaan doa rosario, doa
novena, doa bersama keluarga, ziarah. Adorasi dan lain sebagainya. Tradisi suci sebagai kebiasaan akan sangat membantu kita
memperkuat dan memperdalam iman kita. Tanpa kebiasaan tak pernah terjadi habit
dan tanpa habit, keluarga kita tak akan menjadi segar dan hidup. Keluarga kita
akan menjadi kering dan akan mudah dihinggapi apa yang menjadik kekawatiran
Bapa Paus Benediktus yaitu relativisme religius dan berkembang-nya nilai-nilai
modernitas sekuler.
Catatan tentang Sakramen Perkawinan
Sakramen
Perkawian.
Dalam mewujudkan kasih sebagai
dasar per-satuan pria dan wanita, Allah sendiri memberikan con-toh kepada kita
yaitu kasih dalam hubungan
Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus (Trinitas). Karena begitu besar
kasih Allah kepada dunia sehingga Ia mengutus PuteraNya yang tunggal - yang adalah Yesus - ke dalam dunia untuk menebus manusia dari
dosa dan yang percaya kepadaNya memperoleh keselamatan (Yoh. 3:16). Yesus yang adalah Allah
Putera mewu-judkan kasih Allah Bapa melalui dan dalam Dia dengan setia bahkan
sampai wafat di salib untuk tebusan ba-nyak orang dengan wafat di kayu salib (Mrk.10:45; Mat.20:28). Kesempurnaan kasih Allah
Putera sewujud total dengan kasih Allah Bapa yang mengutusNya. Oleh karena itu Yesus
berkata: “ barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia yang telah mengutus Aku”. (Yoh. 12:45)
Kasih Allah Bapa kepada
manusia tak pernah berhenti dan tak
mungkin berhenti karena Allah Bapa setia selama-lamanya sehingga melalui dan
dalam PuteraNya Ia mengutus Roh Kudus setelah naik ke sorga seperti dijanjikan Yesus kepada para
rasul: “ Semuanya itu Kukatakan kepadamu selagi Aku
berada bersama-sama dengan kamu, tetapi Penghibur yaitu Roh Kudus yang akan
diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepa-damu.... ”(Yoh. 14:25-26) Roh Kudus inilah yang terus
menerus memelihara cinta, menyalakan cinta bila cinta itu meredup,
mengarahkan cinta bila cinta itu tersesat, menyegarkan cinta bila cinta itu layu agar dengan demikian
manusia akan tetap mencintai Allah dan tidak jatuh kembali ke dalam dosa hingga akhirnya mencapai
keselamatan. Hubungan kasih yang amat dalam ini menjadi pola dan dasar
penghayatan persatuan antara pria dan wanita.
Rencana Allah
tentang perkawinan, tidak dengan mudah diterapkan karena kelemahan dan dosa
manusia. Dalam zaman nabi Musa, ada begitu banyak orang meminta surat cerai,
dan nabi Musa pun mem-berikannya. Namun
Allah tetap tidak merubah renca-naNya. Allah tetap
menghendaki perkawinan tak boleh diceraikan. Hal ini ditegaskan Yesus dalam
Perjanjian Baru :“Laki-laki akan meninggalkan ayah dan
ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia
(Mat.19:5-6) Kalau perceraian pada waktu itu terjadi,
hanya karena kategaran hati orang yang memaksa nabi Musa mengizinkannya.
Rencana Allah tentang sakramen perkawinan menunjuk jelas bahwa sakramen
perkawinan katolik yang berdasarkan wahyu Allah bersifat monogam dan tidak
terceraikan dan dibangun atas dasar kasih yang berpolakan hubungan kasih
sempurna Allah Tritunggal dan dihayati model cinta Kristus kepada umatNya. Oleh
karena itu Allah dalam rencanaNya menggambarkan hubungan kasih pasangan pria
dan wanita seperti hubungan kasih Allah dengan umatNya yang penuh dengan
kesetiaan. Sekalipun bangsa Israel berulang kali berkhianat namun Allah tetap
mencintainya dengan kasih setiaNya yang tak pernah pudar. Dengan indah nabi
Yehezkiel melukiskan kasih-setia Allah kepada Israel (Yerusalem) dengan
menjadikan kota/bangsa itu isteriNya
(Yeh.16 : 3-14).
Demikian pula nabi-nabi yang
lain seperti Nabi Yesaya ( Yes. 54: 6 – dst) Nabi Yeremia ( Yer.
2: 2 ) Nabi Hosea ( Hos. 2: 19) Akhirnya nilai-nilai perkawinan sebagaimana
dilukiskan dalam Perjanjian Lama disempurnakan oleh Yesus atau diangkat ke
dalam tata keselamatan baru melalui wafat dan
kebangkitanNya menjadi gambaran hubungan kasihNya
dengan GerejaNya (Ef. 5:32) dan menguduskannya
untuk selama-lamanya (Ef. 5:25)
Rencana Allah tentang
sakramen perkawinan menunjukkan kepada kita bahwa perkawinan
katolik sesungguhnya bukan hanya bersifat
kodrati, melainkan juga bersifat ilahi, karena di dalam perkawinan pasangan
katolik tidak hanya mengucapkan janji untuk saling mencintai, saling memberikan
diri, saling setia dalam untung dan
malang sampai kematian memi-sahkan mereka (tidak akan bercerai) melainkan hidup
mereka itu sendiri menjadi tanda dan sarana kese-lamatan. Allah menghendaki
agar kasihNya yang me-nyelamatkan dihayati dan dinyatakan dalam hidup mereka, sebagaimana
Allah mencintai umatNya.
Oleh karena itu pasangan yang telah menerima
sakramen perkawinan, mereka itu harus
menjadi tanda kasih Tuhan, satu bagi yang lain. Suami menjadi tanda
kasih Tuhan bagi isteri, dan isterinya bagi suaminya. Demikian ini juga
berlangsung bagi anak-anaknya dan anggota keluarganya.
Kasih Tuhan itu harus juga bisa terlihat dan menjadi contoh bagi setiap orang
yang berjumpa. Konsekwensinya ialah tak pernah dibenarkan bila
suami-isteri memperlihatkan perilaku yang jauh dari
kasih Allah apalagi mengingkarinya. Bila mengam-bil cotoh sederhana, adalah
menyedihkan bila suami isteri
terus menerus bertengkar, diam-diaman, ‘ngrum-pi’ keburukan suami atau isterinya sendiri apalagi “pisah ranjang”, atau cerai.
Sebab dengan cara demikian kasih karunia Tuhan yang telah
diberikan Allah kepada mereka menjadi sia-sia, kurang bersinar, meredup
atau bahkan padam. Singkat kata bagaimana bisa menjadi
tanda dan sarana keselamatan bagi mereka sendiri dan orang lain kalau mereka
tidak bisa memperlihatkan kasih diantara mereka?
Rencana Allah tentang sakramen perkawinan juga memberikan gambaran kepada
kita bahwa pa-sangan suami
isteri adalah
mitra kerja Allah dalam karya penciptaan. Allah
mengangkat mereka untuk ikut serta mengambil bagian dalam karya penciptaan
yaitu penciptaan manusia. Karena itu persatuan suami-isteri menjadi tanda
kehadiran Tuhan bila mereka dalam bekerjasama dengan Tuhan mendatangkan
kehidupan baru (anak) yaitu manusia baru yang lahir dari kasih persatuan
suami-isteri dan mendapat tugas dan tang-gungjawab untuk mengasuh, memelihara membe-sarkan dan mendidik anak-anak mereka.
Akhirnya rencana Allah tentang sakramen per-kawinan mengingatkan kita akan tugas/pekerjaan yang harus dilakukan oleh
suami-isteri yaitu mengelola bumi. Artinya suami isteri mempunyai tugas dan
kewajiban untuk saling menciptakan dan memberikan kesejah-teraan satu dengan yang lain dan pada gilirannya juga bagi anak yang lahir
dari perkawinan.
Bila kita menyimpulkan rencana Allah mengenai sakramen perkawinan, maka
kita diingatkan bahwa perkawinan katolik menggambarkan persatuan Kristus dan
GerejaNya. Karena itu suami isteri harus saling menguduskan sebagaimana Kristus
dan GerejaNya kudus. Berkat sakramen
perkawinan, maka perkawinan katolik berlangsung seumur hidup, bersifat unitas
/monogam ( satu suami satu isteri dan tak boleh diceraikan oleh kuasa manapun (indissolubilitas), serta diteguhkan menurut tatacara
Gereja katolik (forma canonica. Dalam
sakramen perkawinan suami isteri siap menjadi mitra kerja Allah bukan hanya
dalam penciptaan (lahirnya manusia baru) tetapi juga dalam pengelolaan ciptaan
dalam rangka saling mensejah-terakan satu dengan
yang lain. Pun pula kepada anak sebagai anugerah Tuhan.
0 comments:
Post a Comment