Gereja Katolik Korea Selatan berupaya menjadi jembatan demi pemulihan hubungan dengan Utara
18/12/2014
Pemisahan Semenanjung Korea telah bertahan lebih lama daripada Perang
Dingin, para pemimpin politik berulang kali mencoba memulihkan
hubungan. Tapi ketika ulang tahun ke-70 pemisahan tersebut tahun depan,
sekelompok rohaniwan Katolik di Korea Selatan melibatkan Gereja yang
diakui pemerintah Korea Utara dengan harapan mengatasi dekade pemisahan
dan konfrontasi di antara kedua negara.
Komite Rekonsiliasi Rakyat Korea akan mengadakan konferensi bersama
Asosiasi Katolik Joseon yang diakui Pyongyang tahun depan untuk
menandai ulang tahun dan berdoa bagi perdamaian, dalam upaya terbaru
oleh Gereja Katolik Korea Selatan untuk menjembatani kedua pihak.
“Tujuan Tuhan yang kita imani memberitahukan kita untuk mengatasi
perpecahan dan konflik, berekonsiliasi dan kerukunan,” kata Pastor Lee
Eun-hyung, sekjen organisasi itu di bawah Konferensi Waligereja Korea,
kepada ucanews.com.
“Pemisahan ini mengajak kita, marilah kita bertemu dan berdoa bersama
untuk mengatasi bahaya dan krisis saat ini. Tujuan acara ini adalah
menyatukan pikiran kita dalam doa bagi perdamaian.”
Pastor Lee mengatakan perwakilan dari kedua belah pihak setuju untuk
konferensi tersebut di Beijing bulan lalu, tetapi ia mengatakan tanggal
dan tempat belum ditetapkan.
Kenferensi ini memerlukan persetujuan pemerintah kedua Korea untuk setiap acara apapun.
Fokus utama Gereja Katolik di Korea Selatan adalah melibatkan Korea
Utara. Pada Mei, Kardinal Yeom Soo-jung, Uskup Agung Seoul, mengunjungi
sebuah industri di Korea Utara, yang dikelola bersama-sama oleh kedua
pemerintah.
Hirarki Korea Selatan juga mengundang tetangganya mengirim umat
Katolik terkait kunjungan Paus Fransiskus pada Agustus lalu, meskipun
Pyongyang menolak tawaran itu.
Namun, kerjasama dengan Korea Utara tetap sensitif di negara yang masih secara teknis berperang dengan tetangganya.
“Tantangan terbesar adalah situasi politik antara Korea Selatan dan
Korea Utara. Saya berharap pengaruh politik tidak mempengaruhi
pertukaran agama atau pribadi,” kata Pastor Lee.
Korea Utara berada antara negara-negara yang sedikit memberikan
kebebasan bagi umat Kristiani menjalankan iman mereka, seperti yang
dilaporkan Open Doors, sebuah LSM berbasis di Amerika Serikat yang mendata penganiayaan agama di seluruh dunia.
Kesaksian para pembelot telah mendokumentasikan penjara dan eksekusi terhadap orang Kristen akibat mempraktekkan iman mereka.
Nasib Gereja di Korea Utara tidak bisa berkembang lebih luas akibat
perbatasan, sementara Gereja di Korea Selatan memiliki anggotanya
hampir tiga kali lipat antara tahun 1985 dan 2005.
“Mereka (rezim Kim) melihat agama sebagai tantangan besar,” kata Andrei Lankov, seorang profesor di Seoul Kookmin University.
Gereja diakui negara sejak tahun 1988, namun para pembelot dan kelompok HAM menganggap pengakuan itu adalah palsu.
Pastor Lee sendiri mengakui bahwa tidak ada imam yang sah di negeri
ini, tapi ia berharap bisa mencapai Korea Utara dengan latar belakang
Katolik.
“Tidak ada imam tetapi ada orang-orang yang telah dibaptis. Ada
orang-orang yang dibaptis sebelum pemisahan, dan ada juga orang yang
terlibat dalam proses pertukaran agama yang telah dibaptis,” katanya.
Ditanya tentang kemungkinan adanya agen pemerintah antara perwakilan
Katolik diakui, Pastor Lee mengatakan sulit untuk mengomentari sebuah
“masalah internal”.
“Ada banyak hal yang mengecewakan bagi saya tentang kondisi keagamaan
di Korea Utara, tapi beruntung ada kelompok yang mendorong pertemuan
tersebut.”
Pastor Lee menegaskan bahwa usulan mereka yang sederhana akhirnya
bisa tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih besar untuk kepentingan
semua.
“Meskipun sekarang hanya dengan rapat kecil dan sederhana, saya yakin
suatu hari upaya ini akan menghasilkan buah yang besar melalui campur
tangan Tuhan.”
Sumber: ucanews.com
0 comments:
Post a Comment