Gereja Katolik kecam Presiden
Jokowi
terkait penolakan grasi 64 terpidana mati narkoba
terkait penolakan grasi 64 terpidana mati narkoba
17/12/2014
Gereja Katolik
Indonesia mengecam sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak grasi yang
diajukan 64 terpidana mati kasus narkotika dan obat terlarang (narkoba).
Pastor Paulus
Siswantoko dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengatakan setidaknya ada
lima alasan Gereja Katolik menolak hukuman mati.
“Alasan
pertama, siapa pun tidak punya hak mencabut nyawa orang lain karena hidup
adalah anugerah dari Tuhan dan hanya Tuhan-lah yang berhak mencabutnya,” kata
Pastor Siswantoko yang akrab disapa Romo Koko dalam jumpa pers di kantor KWI,
Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
Selain itu,
Romo Koko menyampaikan keraguan Gereja Katolik akan sistem hukum di Indonesia
yang menyatakan 64 terpidana mati tersebut benar-benar “gembong” narkoba.
“Kami
menyangsikan apakah ke-64 orang itu sungguh-sungguh bandar narkoba karena
sistem hukum di negara kita masih memprihatinkan. Contohnya saja, masih banyak
kasus salah tangkap, hukum kita cenderung kuat di bawah tapi lemah d atas,
apakah benar ke-64 terpidana itu bebas intervensi politik? Jangan-jangan di
antara ke-64 terpidana mati itu ada yang cuma pengguna, apakah pemerintah bisa
memastikan peradilan yang dilakukan sungguh-sungguh transparan?” katanya.
Lebih lanjut
Romo Koko menyampaikan, jika hukuman mati digunakan pemerintahan Jokowi sebagai
“shock therapy”, maka Gereja Katolik menuntut penelitian yang membuktikan
hukuman mati benar-benar mampu menurunkan tingkat kejahatan.
“Sampai hari
ini sudah ada delapan orang yang dieksekusi tapi toh belum ada efek jera juga.
Di Malaysia yang secara tegas menerapkan hukuman mati bagi kasus narkoba pun,
kasus narkoba marak luar biasa di sana. Jangan dampai ini salah sasaran,
inginnya menghentikan narkoba tapi malah bunuh anak negeri,” katanya.
Gereja Katolik
menolak hukuman mati karena dinilai tidak sejalan dengan program Nawa Cita
Jokowi yang salah satu pasalnya menolak negara lemah dengan melakukan reformasi
siat dan penegakkan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
“Hukuman mati
bukanlah cara penegakan hukum yang bermartabat, hukuman mati malah untuk
menghilangkan kehidupan. Apakah cara menyelamatkan jutaan orang harus
mengorbankan ke-64 orang itu? Ini bukan upaya hukum yang bermartabat,” katanya.
Romo juga
menjelaskan, hukuman mati sebenarnya hanyalah menggambarkan kegagalan negara
dalam melakukan pembinaan para narapidana.
“Berdasarkan
hal-hal tersebut maka Gereja Katolik Indonesia mendesak pemerintah Jokowi agar
menghapuskan hukuman mati karena tidak memiliki dampak apa-apa untuk
terwujudnya penegakan hukum yang bermartabat dan keadilan sebagaimana yang
diharapkan,” katanya.
Sekitar 140-an
negara di Eropa, kata Romo Koko, telah menghapuskan hukuman mati.
“Kita usulkan
agar hukuman mati diganti hukuman penjara seumur hidup tanpa ada pengurangan
(remisi) atau pengampunan (grasi). Dengan demikian kita memiliki dua
keuntungan: negara tak perlu mencabut nyawa dan negara memberi kesempatan
manusia untuk berubah, dengan ini orang akan jera. Jangan sampai hanya karena
ingin menyenangkan publik, Jokowi melakukan hukuman mati,” katanya.
KWI sendiri
telah memperjuangkan penghapusan hukuman mati sejak empat tahun lalu melalui
“Koalisi Hati” atau gerakan koalisi Anti Hukuman Mati.
Pendekatan terhadap
para terpidana hukuman mati dilakukan oleh KWI melalui kegiatan pelayanan,
termasuk di LP Nusa Kambangan. (Antara/mirifica.net)
0 comments:
Post a Comment