Sunday, 15 March 2015

PESAN PRAPASKAH 2015 dari PAUS FRANSISKUS





PESAN PRAPASKAH 2015 dari PAUS FRANSISKUS

“Teguhkan hatimu” (Yak 5:8)



Saudara dan saudari terkasih,

Prapaskah adalah masa pembaharuan bagi seluruh Gereja, bagi setiap komunitas dan setiap orang yang percaya. Lebih dari segalanya, Prapaskah adalah “saat rahmat” (2 Kor 6:2). Allah tidak meminta kepada kita sesuatu yang Dia sendiri tidak lebih dulu berikan kepada kita. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh 4:19). Ia tidak jauh dari kita. Setiap orang memiliki tempat di hati-Nya. Ia mengenal kita lewat nama, Ia peduli pada kita dan Ia mencari kita manakala kita berpaling daripada-Nya. Ia tertarik pada kita masing-masing; kasih-Nya membuat Dia tidak acuh terhadap apa yang terjadi pada kita. Biasanya, ketika kalau sehat dan senang, kita melupakan orang lain (sesuatu yang tidak pernah Allah Bapa lakukan): kita tidak peduli dengan persoalan mereka, penderitaan-penderitaan mereka dan ketidakadilan-ketidakadilan yang dialami mereka … Hati kita semakin dingin. Selama saya relatif sehat dan senang, saya tidak memikirkan orang-orang yang kurang berkecukupan. Hari ini, sikap ketidakpedulian yang mementingkan diri sendiri ini diangkat ke proporsi global, sampai-sampai kita bisa berbicara tentang globalisasi ketidakpedulian. Inilah persoalan yang kita, sebagai umat Kristiani, perlu hadapi.


Ketika umat Allah masuk kedalam kasih-Nya, mereka menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus diangkat oleh sejarah. Salah satu tantangan paling mendesak yang ingin saya sampaikan dalam Pesan ini adalah globalisasi ketidakpedulian. Ketidakpedulian terhadap sesama dan terhadap Allah juga menggambarkan godaan nyata bagi kita umat Kristiani. Setiap tahun dalam Masa Prapaskah kita perlu mendengarkan sekali lagi suara para nabi yang menjerit dan mengganggu suara hati kita. Allah tidak acuh tak acuh terhadap dunia kita; Ia begitu mencintainya sehingga Ia memberikan Putra-Nya untuk keselamatan kita. Dalam Inkarnasi (penjelmaan), dalam kehidupan duniawi, kematian, dan kebangkitan Putra Allah, pintu gerbang antara Allah dan manusia, antara surga dan bumi, akhirnya terbuka selamanya. Gereja laksana tangan yang tetap membuka gerbang ini, berkat pewartaan sabda Allah, perayaan sakramen-sakramen dan kesaksian imannya yang bekerja melalui kasih (bdk. Gal 5:6). Tetapi dunia cenderung menarik diri ke dalam dirinya sendiri dan menutup pintu yang Allah lewati untuk datang ke dunia dan dunia datang kepada-Nya. Sebab itu, tangan yang adalah Gereja, haris tidak pernah kaget kalau ditolak, ditindas dan dilukai. Maka, umat Allah perlu pembaharuan batin ini, jangan sampai kita menjadi acuh tak acuh dan menarik diri ke dalam diri sendiri. Untuk melanjutkan pembaharuan ini, saya ingin mengusulkan agar kita merefleksikan tiga teks biblis.
  1. “Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita” (1 Kor 12:26) – Gereja
Kasih Allah menjebol penutupan diri sendiri yang fatal yang merupakan ketidakpedulian. Gereja memberikan kasih Allah kepada kita melalui pengajarannya dan terutama melalui kesaksiannya. Tetapi kita hanya bisa memberikan kesaksian tentang apa yang kita sendiri alami. Umat Kristiani adalah mereka yang membiarkan Allah menutupi mereka dengan pakaian kebaikan dan belas kasih, Kristus, agar supaya menjadi, seperti Kristus, hamba-hamba Allah dan lain-lain. Hal ini jelas terlihat dalam liturgi Kamis Putih, dengan ritual pembasuhan kaki. Petrus tidak mau Yesus membasuh kakinya, tetapi ia lalu sadar bahwa Yesus tidak mau hanya menjadi contoh bagaimana kita harus saling mencuci kaki. Hanya mereka yang lebih dulu mengizinkan Yesus membasuh kaki mereka yang kemudian bisa memberikan pelayanan ini kepada orang lain. Hanya mereka mendapat “bagian” dalam Dia (Yoh 13:8) dan dengan demikian bisa melayani orang lain. Masa Prapaskah adalah saat yang bagus untuk membiarkan Kristus melayani kita sehingga kita pada gilirannya bisa semakin menjadi seperti Dia. Ini terjadi apabila kita mendengarkan sabda Allah dan menerima sakramen-sakramen, terutama Ekaristi. Di saat itu kita menjadi seperti apa yang kita terima: Tubuh Kristus. Di dalam tubuh ini tidak ada ruang untuk ketidakpedulian yang nampak begitu sering menguasai hati kita. Karena siapa saja yang menjadi milik Kristus, menjadi bagian dari satu tubuh, dan dalam Dia kita tidak bisa saling acuh tak acuh. “Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita” (1 Kor 12:26). Gereja adalah communio sanctorum bukan hanya karena orang-orang kudusnya, tetapi juga karena Gereja adalah sebuah persekutuan dalam hal-hal kudus: kasih Allah dinyatakan kepada kita di dalam Kristus dan dalam semua karunia-Nya. Di antara karunia-karunia ini ada juga jawaban dari orang-orang yang membiarkan diri mereka disentuh oleh kasih ini. Dalam persekutuan orang-orang kudus ini, dalam sharing hal-hal kudus ini, tidak ada seorang pun yang sendiri saja menguasai sesuatu , tetapi berbagi segalanya dengan orang lain. Dan karena kita dipersatukan dalam Allah, kita bisa melakukan sesuatu untuk mereka yang jauh, mereka yang kita tidak pernah jangkau, karena bersama mereka dan untuk mereka, kita meminta kepada Allah agar kita semua boleh terbuka terhadap rencana keselamatan-Nya.
  1. “Di mana saudaramu?” (Kej 4:9) – Paroki-Paroki dan Komunitas-Komunitas
Sekarang kita harus menerapkan apa saja, yang sudah kita katakan tentang Gereja universal, dalam kehidupan paroki-paroki dan komunitas-komunitas kita. Apakah dengan struktur-struktur gerejawi ini kita bisa mengalami menjadi bagian dari satu tubuh? Tubuh yang menerima dan membagikan apa yang Allah ingin berikan? Tubuh yang mengakui dan memperhatikan anggota-anggotanya yang paling lemah, yang paling miskin dan yang paling tidak penting? Atau apakah kita berlindung dalam kasih universal yang akan merangkul seluruh dunia, seraya gagal untuk melihat Lazarus yang lagi duduk di depan pintu-pintu kita yang tertutup (Luk 16:19-31)? Guna menerima yang Allah berikan kepada kita dan untuk membuatnya berbuah melimpah, kita harus berusaha melampaui batas-batas Gereja yang dapat dilihat dalam dua cara. Pertama, dengan mempersatukan diri kita dalam doa bersama Gereja di surga. Doa-doa Gereja di bumi membangun persekutuan saling melayani dan kebaikan yang meningkat hingga terlihat oleh Allah. Bersama dengan para kudus yang telah menemukan pemenuhan diri mereka dalam Allah, kita membentuk bagian dari persekutuan yang dalamnya ketidakpedulian ditaklukkan oleh kasih. Gereja di surga tidak bergembira karena ia tidak lagi merasakan penderitaan-penderitaan dunia dan bersukacita dalam semaraknya keterasingan. Sebaliknya, para kudus sudah merenungkan dengan penuh sukacita kenyataan bahwa, melalui kematian dan kebangkitan Yesus, mereka telah secara definitif mengalahkan seluruh ketidakpedulian, kekerasan hati dan kebencian. Para kudus terus menemani kita dalam perjalanan ziarah kita sampai kemenangan kasih ini menembus seluruh bumi. Santa Teresia dari Lisieux, seorang pujangga Gereja, mengungkapkan keyakinannya bahwa sukacita di surga atas kemenangan kasih yang tersalib tetap tidak sempurna selama masih ada pria atau wanita di bumi yang menderita dan menjerit kesakitan: “Saya sepenuhnya percaya bahwa saya tidak akan tinggal diam di surga, keinginanku adalah untuk terus berkarya bagi Gereja dan bagi jiwa-jiwa” (Surat 254, 14 Juli 1897). Kita ikut bersama dalam kebaikan dan sukacita para kudus, sebagaimana mereka ikut serta dalam perjuangan kita dan kerinduan kita akan perdamaian dan rekonsiliasi. Sukacita mereka atas kemenangan Kristus yang bangkit memberi memperkuat kita saat kita berupaya mengatasi ketidakpedulian dan kekerasan hati kita.

Yang kedua, setiap umat Kristiani dipanggil untuk keluar dari dirinya sendiri dan terlibat dalam kehidupan masyarakat yang lebih besar, khususnya dengan orang miskin dan orang yang jauh. Gereja bersifat misioner. Gereja tidak menutup diri tetapi keluar menjangkau setiap bangsa dan setiap orang. Misinya adalah dengan sabar memberikan kesaksian tentang Seseorang yang ingin menarik semua ciptaan dan pria dan wanita kepada Bapa. Misinya adalah untuk membawa kasih yang tidak bisa tinggal diam kepada semua orang. Gereja mengikuti Yesus Kristus di sepanjang jalan-jalan menuju setiap pria dan wanita, hingga ke ujung bumi (Kis 1:8). Maka, dalam diri setiap sesama, kita harus melihat seorang saudara atau saudari yang baginya Kristus telah wafat dan bangkit. Apa yang diri kita sendiri terima, kita terima untuk mereka juga. Demikian juga, semua yang dimiliki oleh saudara dan saudari kita adalah karunia bagi Gereja dan bagi seluruh umat manusia.
Saudara dan saudari terkasih, betapa besar keinginan saya agar semua tempat di mana Gereja hadir, khususnya paroki-paroki kita dan komunitas-komunitas, bisa menjadi kepulauan kemurahan hati di tengah laut ketidakpedulian!
  1. “Teguhkan hatimu!” (Yak 5:8) – Orang Kristiani perorangan
Secara perorangan juga dicobai oleh ketidakpedulian. Kita, yang sering dibanjiri laporan berita dan gambar-gambar penderitaan manusia yang mengganggu, sering merasakan sungguh tidak mampu membantu. Apa yang bisa dilakukan agar tidak terjebak dalam spiral kesulitan dan ketidakberdayaan ini? Pertama, kita bisa berdoa dalam persekutuan dengan Gereja di bumi dan di surga. Janganlah meremehkan kekuatan dari begitu banyak suara yang menyatu dalam doa! Prakarsa “24 Jam bagi Tuhan”, yang saya harap dirayakan tanggal 13-14 Maret 2015 di seluruh Gereja, termasuk di tingkat keuskupan, dimaksudkan untuk menjadi tanda perlunya doa ini. Yang kedua, kita bisa membantu dengan tindakan-tindakan amal kasih, seraya menjangkau yang dekat maupun yang jauh melalui banyak organisasi amal kasih milik Gereja. Masa Prapaskah adalah saat yang baik untuk memperlihatkan kepedulian terhadap sesama dengan tanda-tanda kecil namun nyata bahwa kita termasuk dalam satu keluarga manusia. Ketiga, penderitaan orang lain adalah panggilan untuk pertobatan, karena kebutuhan mereka mengingatkan saya akan ketidakpastian hidup saya sendiri dan ketergantungan saya kepada Allah dan kepada saudara dan saudariku. Kalau kita dengan rendah hati memohon rahmat Allah dan menerima keterbatasan-keterbatasan kita sendiri, kita akan percaya pada kemungkinan tak terbatas yang diulurkan oleh kasih Tuhan kepada kita. Kita juga akan bisa menahan godaan setan untuk berpikir bahwa dengan usaha kita sendiri kita bisa menyelamatkan dunia dan diri kita sendiri. Sebagai cara mengatasi ketidakpedulian dan pretensi untuk mandiri, saya mengajak semua orang untuk menjalani Masa Prapaskah ini sebagai kesempatan untuk terlibat dalam apa yang Benediktus XVI sebut sebagai formasi hati (bdk. Deus Caritas Est, 31). Hati yang berbelas kasihan bukan berarti hati yang lemah. Siapa pun yang ingin menjadi murah hati harus memiliki hati yang kuat dan teguh, tertutup bagi penggoda tetapi terbuka bagi Allah. Hati yang membiarkan dirinya ditikam oleh Roh sehingga membawa kasih di sepanjang jalan yang mengarah kepada saudara dan saudari kita. Dan, akhirnya, hati yang miskin, yang menyadari kemiskinannya sendiri dan yang leluasa memberikan dirinya bagi orang lain. Maka, saudara-saudari, dalam Masa Prapaskah ini, marilah kita semua memohon kepada Tuhan: “Fac cor nostrum secundum cor tuum” : Jadikanlah hati kami seperti hati-Mu (Litani Hati Kudus Yesus). Dengan cara ini kita akan menerima hati yang teguh dan berbelas kasih, yang penuh perhatian dan yang murah hati, hati yang tidak tertutup, yang acuh tak acuh atau yang menjadi sasaran globalisasi ketidakpedulian. Harapan saya yang penuh doa adalah agar Masa Prapaskah ini akan membuktikan secara rohani berbuah bagi setiap orang yang percaya dan bagi setiap komunitas gerejani. Saya meminta kepada kalian semua untuk mendoakan saya. Semoga Tuhan memberkati kalian dan Perawan Maria menjaga kalian.

Dari Vatikan, 4 Oktober 2014
Pesta Santo Fransiskus dari Asisi
FRANSISKUS PP.




















































0 comments:

Post a Comment