Thursday, 25 December 2014

Pesan Sidang Tahunan 2014 KWI: Mewartakan Sukacita Injil

Pesan Sidang Tahunan 2014 KWI: Mewartakan Sukacita Injil

Gotaus misa uskup di kosambi 4SAUDARI-saudara seiman yang terkasih,

Sukacita Injil, Seruan Apostolik Paus Fransiskus, 24 November 2013, ditujukan kepada para waligereja, imam dan diakon, kaum religius serta umat beriman. Dengan penuh sukacita kami, para waligereja Indonesia menyambut seruan apostolik tersebut, mempelajarinya, membuka hati, budi dan pikiran untuk memahaminya. Kami merasa berkewajiban meneruskannya kepada seluruh umat, agar hati kita berkobar untuk mewartakan sukacita Injil kepada Indonesia dewasa ini.


Agar Injil dapat kita wartakan secara tepat, kita perlu mengenal kenyataan Indonesia dewasa ini yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan-perubahan semakin cepat, yang mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Dalam terang Injil kita ingin mengalami hati yang penuh sukacita karena perjumpaan dengan Kristus. Berkat daya Roh Kudus kita ingin menerima kasih Allah sebagai Bapa bagi semua. Sukacita Injil mewarnai cara baru menjadi Gereja Katolik Indonesia.

Saudari-saudara seiman yang terkasih,

Perubahan-perubahan semakin cepat

Kita sedang menyaksikan perubahan-perubahan semakin cepat karena arus globalisasi yang melanda Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut berdampak pada kenyataan Indonesia.
Kita bersyukur atas kemajemukan budaya yang merupakan anugerah hidup bersama sebagai bangsa. Keanekragaman suku, agama, ras, dan golongan tumbuh dalam semangat bhineka tunggal ika. Perjuangan bersama sebagai bangsa merekatkan perbedaan menuju persatuan bangsa berlandaskan Pancasila. Perkembangan sikap saling menghormati demi kebaikan bersama ditempuh melintasi perubahan-perubahan zaman yang dari waktu ke waktu semakin cepat karena arus globalisasi.

Kita berprihatin karena arus globalisasi yang ditandai oleh komunikasi lintas batas negara dan budaya menggoncangkan tata nilai dan hubungan antar manusia. Batas-batas wilayah dan batas-batas budaya yang menjadi dasar jatidiri suatu bangsa menjadi kabur. Komunikasi dan pertukaran informasi yang semakin mudah dan cepat menawarkan banyak pilihan. Ketidakpastian menggantikan nilai-nilai luhur yang dipegang sebagai warisan leluhur. Hati manusia dipenuhi dengan ketamakan. Orang mencari kepuasan diri dan menganggap sesama sebagai saingan. Pola hubungan antar manusia sebagai pribadi berubah menjadi pola hubungan untung rugi, yang merendahkan martabat pribadi manusia.

Dalam hubungan antar manusia yang tidak bermartabat itu orang yang tidak memiliki kemampuan akan tertinggal, tersingkir dan tidak berdaya. Akibatnya, terjadilah ketergantungan ekonomi, kesenjangan sosial, ketidakseimbangan antara alam, manusia dan tradisi. Pertumbuhan ekonomi yang memakmurkan rakyat mengubah masyarakat menjadi konsumeris. Hadirnya penanam-penanam modal di daerah-daerah pedalaman, yang semestinya menumbuhkan semangat kerja, justru menimbulkan berbagai pertikaian dan kecemburuan sosial. Kemajuan teknologi komunikasi yang memberi peluang kerjasama malah menjadikan masyarakat semakin egois dan menutup diri. Pembangunan yang seharusnya menyejahterakan seluruh rakyat mengakibatkan kerenggangan hubungan antar manusia dan kerusakan lingkungan hidup.

Kerinduan untuk bersaudara, yang berakar pada kemanusiaan terdalam, dan bertumbuh dari keluarga sulit berkembang karena menyempitnya rasa setiakawan. Orang cenderung menghindari tanggungjawab dan mementingkan diri sendiri atau kelompok. Kemanusiaan mengalami kerusakan karena hubungan antarsuku menumpulkan hati nurani. Hubungan antarumat beragama seringkali memudarkan cita-cita membangun persaudaraan sejati. Kesenjangan ekonomi-sosial yang makin lebar mengakibatkan orang kecil, lemah, miskin, tersingkir semakin tidak diperhitungkan. Manusia menciptakan berhala baru, yaitu uang, dan dengan begitu Allah disingkirkan, dan hidup manusia menjadi kosong dari pengalaman rohani.

Saudari-saudara seiman yang terkasih,

Penuh sukacita karena perjumpaan dengan Kristus

Di tengah-tengah segala perubahan yang kita saksikan, kita temukan ada yang tetap sama, tidak berubah, yaitu Yesus Kristus. “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” (Ibrani 13:8) Pada-Nya kita belajar berdoa kepada Bapa, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Mat. 6:10). Kita berdoa, agar Kerajaan Allah datang, dan kehendak-Nya terjadi di bumi Indonesia seperti di surga. “Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Roma 14: 17).

Mengawali seruan apostoliknya Bapa Suci menyatakan, bahwa “sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus” (EG. 1). Di dalam perjumpaan dengan Yesus, Sang Putra, dan dalam perjumpaan kita sebagai saudara, kita mengalami Allah, Bapa yang maharahim, suatu pengalaman rohani yang menjadi daya kekuatan bagi kita untuk mewartakan sukacita Injil kepada semua bangsa.

Dengan penuh syukur dan sukacita kita terima amanat perutusan Tuhan, “…. pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19). Agar Kerajaan Allah hadir secara nyata, dan Injil Kerajaan Allah tetap diwartakan, Kristus mendirikan Gereja-Nya, himpunan orang beriman Kristiani berkat baptisan air. Baptisan air tersebut menjadikan seseorang anggota Gereja, tubuh Kristus. Kita berdoa dan bersyukur, karena rahmat-Nya Gereja tumbuh, berakar, mekar dan berbuah di bumi Indonesia. Kristus membaptis dengan Roh Kudus (bdk. Mrk. 1: 8),

Roh Kudus mengubah manusia lama yang dikuasai dosa menjadi manusia baru “Roh Kudus dapat dikatakan memiliki kreativitas tak terbatas, tepat untuk pikiran ilahi, yang tahu bagaimana melonggarkan simpul-simpul permasalahan manusia, bahkan yang paling rumit dan sulit dipahami” (EG. 178) Karena daya Roh Kudus itulah yang berbeda menjadi tidak berlawanan, melainkan terpadu saling melengkapi, yang jauh tidak menjadi terpisah, melainkan menjadi dekat, yang asing menjadi saling mengenal satu sama lain sebagai saudara. Karya Roh Kudus itu kita kenali dalam peristiwa-peristiwa hidup yang mempersatukan banyak suku yang berbeda, aneka budaya dan beragam bahasa untuk membangun persaudaraan sejati, karena kesediaan melaksanakan kehendak Allah. Yesus Kristus melaksanakan kehendak Allah, Bapa-Nya, secara tuntas dengan bersedia menapaki jalan salib menuju kematiaan-Nya di Golgota. Di puncak Golgota itulah diakui, bahwa Yesus Kristus sungguh Anak Allah. Karena itu, meskipun dibunuh Ia tetap hidup.

Allah yang Mahakudus memanggil semua orang kepada kekudusan. Panggilan kepada kekudusan adalah panggilan yang mempersatukan manusia dengan Allah, dengan sesama dan dengan semua makhluk, bukan memisahkan dan menceraiberaikannya. Pengalaman manusia akan Yang Kudus membangun dalam hati setiap orang sikap kasih dan hormat kepada Allah, yang menjadi dasar bagi sikap kasih dan hormat kita kepada sesama dan semua makhluk.

Di bumi Indonesia yang majemuk beriman berarti beriman dalam kebersamaan dengan yang lain, yang berbeda agama, suku, ras dan golongan. Dialog antaragama memerlukan “sikap terbuka terhadap kebenaran dan terhadap kasih” (EG. 250) Karena itu, membangun persaudaraan sejati tidak cukup dengan sikap toleran, suatu sikap sekedar menerima yang lain karena ada. Lebih daripada sikap toleran dibutuhkan sikap kasih seorang akan yang lain, dan hormat menghormati untuk mewujudkan persaudaraan sejati antar sesama manusia dan semua makhluk, di mana Alllah menjadi Bapa bagi semua.

Allah Bapa mengangkat kita menjadi saluran kasih untuk menjumpai sesama kita terutama yang jatuh menjadi korban-korban terluka di pinggiran jalan salib kehidupan manusia. Mereka adalah kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan yang terlupakan, yang menjadi korban tatanan sistim politik, ekonomi, budaya, dan komunikasi yang tidak adil. Setiap orang beriman kristiani diutus untuk mewartakan sukacita Injil dengan hadir di dalam dunia, dan mengubahnya dari dalam laksana ragi dengan nilai-nilai Injil.

Kita umat Kristiani dipangil untuk memperhatikan mereka yang lemah di bumi, untuk melindungi dunia yang rapuh di mana kita hidup, dan semua orang di dalamnya (Bdk. EG. 209-216). Pengalaman pendampingan terhadap mereka yang lemah, yang tersisih, seperti orangtua tunggal, penderita HIV/AIDS, pengungsi, korban penyalahgunaan narkoba, anak jalanan, orang miskin dan yang terabaikan membuka kesadaran kita, bahwa dalam perubahan-perubahan yang begitu menggoncangkan itu masih ada orang yang menghargai perbedaan dan kesetaraan antarsesama manusia. Mereka itu digerakkan oleh keyakinan bahwa setiap pribadi adalah jauh lebih berharga daripada seluruh dunia. Sikap yang perlu ditumbuhkan dalam kemanusiaan kita adalah menghormati, menghargai dan membuka ruang perjumpaan.

Saudari-saudara seiman yang terkasih,

Cara baru menjadi Gereja Katolik Indonesia

Faham Gereja menurut Konsili Vatikan II, yaitu Gereja sebagai sakramen keselamatan dan persekutuan, diwujudkan dalam gereja setempat di Indonesia dengan mengembang-kan jati dirinya sebagai persekutuan komunitas-komunitas murid-murid Kristus yang menghadirkan Kerajaan Allah. Agar kehadiran Gereja menjadi sukacita bagi warganya dan masyarakat, Gereja Katolik tetap melanjutkan upayanya untuk mencari dan melaksanakan cara baru menjadi Gereja Katolik Indonesia.

Gereja sebagai persekutuan komunitas-komunitas umat beriman lahir dari persekutuan Tritunggal Mahakudus. Oleh sebab itu, hendaklah Gereja masuk ke dalam misteri persekutuan dengan Allah, mengalami dan merasakan perjumpaan pribadi dengan Allah sendiri melalui doa, kontemplasi, dan sakramen-sakramen terutama Ekaristi, sumber dan puncak hidup beriman, serta sakramen tobat. Perjumpaan dan persekutuan pribadi dengan Allah dan dengan yang lain menjadi sumber sukacita sejati yang menjiwai dan mendorong Gereja untuk mewartakan kabar sukacita kepada segala bangsa. Kabar sukacita yang diwartakan hendaklah bertumbuh dari Kristus sendiri yang berbicara dan menyapa manusia melalui Kitab Suci.

Persekutuan dengan Allah mendorong Gereja untuk keluar dari dirinya sendiri, melewati lorong-lorong kehidupan untuk merangkul semua orang, dan menjumpai mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan yang terabaikan. Kepada siapa pun yang dijumpai, Gereja diutus untuk membawa cintakasih dan kegembiraan, perdamaian dan keadilan, persatuan dan persaudaraan sejati. Pintu Gereja terbuka untuk siapa saja, Gereja adalah rumah bagi semua orang. Di dalam Gereja Kristus tidak ada orang asing, karena semua orang adalah saudara.

Dalam menjalankan perutusannya untuk mencari dan menjumpai orang lain dan dunia sekitarnya Gereja berupaya menampilkan wajah Allah yang maharahim dan berbe-laskasih, peka terhadap bimbingan Roh Kudus untuk selalu menyadari misteri ilahi di tengah segala kenyatan dan peristiwa yang terjadi. Roh Kudus menjadi daya kekuatan bagi kita untuk memantapkan iman, meneguhkan harapan akan masa depan yang lebih baik, dan memancarkan kasih yang mempererat tali persaudaraan antar semua orang, di mana Allah menjadi segala bagi semua.

Agar dapat melaksanakan perutusan tersebut, Gereja harus bersedia membarui diri terus-menerus dalam bimbingan Roh Kudus, dan membenahi tata organisasinya. Gereja menjadi bermakna bagi dunia dewasa ini dan tidak kehilangan kredibilitasnya. Kehadiran dan pelayanan Gereja semakin berbuah sukacita bagi siapa saja dan apa saja. Pembaruan diri Gereja semakin berdampak, bila para gembala menjadi teladan dalam pelayanan bagi seluruh umat. Keteladanan para pemimpin yang sederhana membangkitkan harapan akan kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan nilai dan suara hati yang dilakukan sejak dini mewujud dalam Gereja yang merangkul setiap perbedaan demi persaudaraan sejati.

Saudari-saudara seiman yang terkasih,

Seruan Apostolik “Sukacita Injil” kami harapkan menjadi bahan pembelajaran yang berkelanjutan bagi kami sendiri para waligereja, para imam dan diakon, kaum religius serta umat beriman untuk mencecap kesegaran dari Injil, sumber suka cita bagi kita yang menjadi saksi Kristus pada zaman sekarang ini

18. Kita bersyukur bersama Maria, bunda evangelisasi, yang telah menerima kabar sukacita dari malaikat Tuhan, dan mewartakan kabar sukacita itu pertama-tama kepada Elisabeth, dan selanjutnya kepada Gereja dan melalui Gereja kepada seluruh dunia. Sesuai dengan teladannya marilah kita semua bertekun dan setia menapaki jalan salib kehidupan, dan secara kreatif mengembangkan cara baru menjadi Gereja Katolik Indonesia, sehingga Gereja menjadi sukacita bagi dunia. Terpujilah Yesus Kristus kini dan sepanjang masa!

Jakarta, 5 November 2014
Konferensi Waligereja Indonesia,

Mgr. Ignatius Suharyo K e t u a 

Mgr. Johannes Pujasumarta Sekretaris Jenderal

0 comments:

Post a Comment