Pesan Sidang Tahunan 2014 KWI: Mewartakan Sukacita Injil
Sukacita Injil, Seruan Apostolik Paus Fransiskus, 24 November 2013,
ditujukan kepada para waligereja, imam dan diakon, kaum religius serta
umat beriman. Dengan penuh sukacita kami, para waligereja Indonesia
menyambut seruan apostolik tersebut, mempelajarinya, membuka hati, budi
dan pikiran untuk memahaminya. Kami merasa berkewajiban meneruskannya
kepada seluruh umat, agar hati kita berkobar untuk mewartakan sukacita
Injil kepada Indonesia dewasa ini.
Agar Injil dapat kita wartakan secara tepat, kita perlu mengenal
kenyataan Indonesia dewasa ini yang dari waktu ke waktu mengalami
perubahan-perubahan semakin cepat, yang mencengangkan dan sekaligus
mencemaskan. Dalam terang Injil kita ingin mengalami hati yang penuh
sukacita karena perjumpaan dengan Kristus. Berkat daya Roh Kudus kita
ingin menerima kasih Allah sebagai Bapa bagi semua. Sukacita Injil
mewarnai cara baru menjadi Gereja Katolik Indonesia.
Saudari-saudara seiman yang terkasih,
Perubahan-perubahan semakin cepat
Kita sedang menyaksikan perubahan-perubahan semakin cepat karena arus
globalisasi yang melanda Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut
berdampak pada kenyataan Indonesia.
Kita bersyukur atas kemajemukan budaya yang merupakan anugerah hidup
bersama sebagai bangsa. Keanekragaman suku, agama, ras, dan golongan
tumbuh dalam semangat bhineka tunggal ika. Perjuangan bersama sebagai
bangsa merekatkan perbedaan menuju persatuan bangsa berlandaskan
Pancasila. Perkembangan sikap saling menghormati demi kebaikan bersama
ditempuh melintasi perubahan-perubahan zaman yang dari waktu ke waktu
semakin cepat karena arus globalisasi.
Kita berprihatin karena arus globalisasi yang ditandai oleh
komunikasi lintas batas negara dan budaya menggoncangkan tata nilai dan
hubungan antar manusia. Batas-batas wilayah dan batas-batas budaya yang
menjadi dasar jatidiri suatu bangsa menjadi kabur. Komunikasi dan
pertukaran informasi yang semakin mudah dan cepat menawarkan banyak
pilihan. Ketidakpastian menggantikan nilai-nilai luhur yang dipegang
sebagai warisan leluhur. Hati manusia dipenuhi dengan ketamakan. Orang
mencari kepuasan diri dan menganggap sesama sebagai saingan. Pola
hubungan antar manusia sebagai pribadi berubah menjadi pola hubungan
untung rugi, yang merendahkan martabat pribadi manusia.
Dalam hubungan antar manusia yang tidak bermartabat itu orang yang
tidak memiliki kemampuan akan tertinggal, tersingkir dan tidak berdaya.
Akibatnya, terjadilah ketergantungan ekonomi, kesenjangan sosial,
ketidakseimbangan antara alam, manusia dan tradisi. Pertumbuhan ekonomi
yang memakmurkan rakyat mengubah masyarakat menjadi konsumeris. Hadirnya
penanam-penanam modal di daerah-daerah pedalaman, yang semestinya
menumbuhkan semangat kerja, justru menimbulkan berbagai pertikaian dan
kecemburuan sosial. Kemajuan teknologi komunikasi yang memberi peluang
kerjasama malah menjadikan masyarakat semakin egois dan menutup diri.
Pembangunan yang seharusnya menyejahterakan seluruh rakyat mengakibatkan
kerenggangan hubungan antar manusia dan kerusakan lingkungan hidup.
Kerinduan untuk bersaudara, yang berakar pada kemanusiaan terdalam,
dan bertumbuh dari keluarga sulit berkembang karena menyempitnya rasa
setiakawan. Orang cenderung menghindari tanggungjawab dan mementingkan
diri sendiri atau kelompok. Kemanusiaan mengalami kerusakan karena
hubungan antarsuku menumpulkan hati nurani. Hubungan antarumat beragama
seringkali memudarkan cita-cita membangun persaudaraan sejati.
Kesenjangan ekonomi-sosial yang makin lebar mengakibatkan orang kecil,
lemah, miskin, tersingkir semakin tidak diperhitungkan. Manusia
menciptakan berhala baru, yaitu uang, dan dengan begitu Allah
disingkirkan, dan hidup manusia menjadi kosong dari pengalaman rohani.
Saudari-saudara seiman yang terkasih,
Penuh sukacita karena perjumpaan dengan Kristus
Di tengah-tengah segala perubahan yang kita saksikan, kita temukan
ada yang tetap sama, tidak berubah, yaitu Yesus Kristus. “Yesus Kristus
tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.”
(Ibrani 13:8) Pada-Nya kita belajar berdoa kepada Bapa, “Datanglah
Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Mat. 6:10).
Kita berdoa, agar Kerajaan Allah datang, dan kehendak-Nya terjadi di
bumi Indonesia seperti di surga. “Kerajaan Allah bukanlah soal makanan
dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh
Roh Kudus” (Roma 14: 17).
Mengawali seruan apostoliknya Bapa Suci menyatakan, bahwa “sukacita
Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus” (EG. 1).
Di dalam perjumpaan dengan Yesus, Sang Putra, dan dalam perjumpaan kita
sebagai saudara, kita mengalami Allah, Bapa yang maharahim, suatu
pengalaman rohani yang menjadi daya kekuatan bagi kita untuk mewartakan
sukacita Injil kepada semua bangsa.
Dengan penuh syukur dan sukacita kita terima amanat perutusan Tuhan,
“…. pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19). Agar Kerajaan Allah
hadir secara nyata, dan Injil Kerajaan Allah tetap diwartakan, Kristus
mendirikan Gereja-Nya, himpunan orang beriman Kristiani berkat baptisan
air. Baptisan air tersebut menjadikan seseorang anggota Gereja, tubuh
Kristus. Kita berdoa dan bersyukur, karena rahmat-Nya Gereja tumbuh,
berakar, mekar dan berbuah di bumi Indonesia. Kristus membaptis dengan
Roh Kudus (bdk. Mrk. 1: 8),
Roh Kudus mengubah manusia lama yang dikuasai dosa menjadi manusia
baru “Roh Kudus dapat dikatakan memiliki kreativitas tak terbatas, tepat
untuk pikiran ilahi, yang tahu bagaimana melonggarkan simpul-simpul
permasalahan manusia, bahkan yang paling rumit dan sulit dipahami” (EG.
178) Karena daya Roh Kudus itulah yang berbeda menjadi tidak berlawanan,
melainkan terpadu saling melengkapi, yang jauh tidak menjadi terpisah,
melainkan menjadi dekat, yang asing menjadi saling mengenal satu sama
lain sebagai saudara. Karya Roh Kudus itu kita kenali dalam
peristiwa-peristiwa hidup yang mempersatukan banyak suku yang berbeda,
aneka budaya dan beragam bahasa untuk membangun persaudaraan sejati,
karena kesediaan melaksanakan kehendak Allah. Yesus Kristus melaksanakan
kehendak Allah, Bapa-Nya, secara tuntas dengan bersedia menapaki jalan
salib menuju kematiaan-Nya di Golgota. Di puncak Golgota itulah diakui,
bahwa Yesus Kristus sungguh Anak Allah. Karena itu, meskipun dibunuh Ia
tetap hidup.
Allah yang Mahakudus memanggil semua orang kepada kekudusan.
Panggilan kepada kekudusan adalah panggilan yang mempersatukan manusia
dengan Allah, dengan sesama dan dengan semua makhluk, bukan memisahkan
dan menceraiberaikannya. Pengalaman manusia akan Yang Kudus membangun
dalam hati setiap orang sikap kasih dan hormat kepada Allah, yang
menjadi dasar bagi sikap kasih dan hormat kita kepada sesama dan semua
makhluk.
Di bumi Indonesia yang majemuk beriman berarti beriman dalam
kebersamaan dengan yang lain, yang berbeda agama, suku, ras dan
golongan. Dialog antaragama memerlukan “sikap terbuka terhadap kebenaran
dan terhadap kasih” (EG. 250) Karena itu, membangun persaudaraan sejati
tidak cukup dengan sikap toleran, suatu sikap sekedar menerima yang
lain karena ada. Lebih daripada sikap toleran dibutuhkan sikap kasih
seorang akan yang lain, dan hormat menghormati untuk mewujudkan
persaudaraan sejati antar sesama manusia dan semua makhluk, di mana
Alllah menjadi Bapa bagi semua.
Allah Bapa mengangkat kita menjadi saluran kasih untuk menjumpai
sesama kita terutama yang jatuh menjadi korban-korban terluka di
pinggiran jalan salib kehidupan manusia. Mereka adalah kaum kecil,
lemah, miskin, tersingkir dan yang terlupakan, yang menjadi korban
tatanan sistim politik, ekonomi, budaya, dan komunikasi yang tidak adil.
Setiap orang beriman kristiani diutus untuk mewartakan sukacita Injil
dengan hadir di dalam dunia, dan mengubahnya dari dalam laksana ragi
dengan nilai-nilai Injil.
Kita umat Kristiani dipangil untuk memperhatikan mereka yang lemah di
bumi, untuk melindungi dunia yang rapuh di mana kita hidup, dan semua
orang di dalamnya (Bdk. EG. 209-216). Pengalaman pendampingan terhadap
mereka yang lemah, yang tersisih, seperti orangtua tunggal, penderita
HIV/AIDS, pengungsi, korban penyalahgunaan narkoba, anak jalanan, orang
miskin dan yang terabaikan membuka kesadaran kita, bahwa dalam
perubahan-perubahan yang begitu menggoncangkan itu masih ada orang yang
menghargai perbedaan dan kesetaraan antarsesama manusia. Mereka itu
digerakkan oleh keyakinan bahwa setiap pribadi adalah jauh lebih
berharga daripada seluruh dunia. Sikap yang perlu ditumbuhkan dalam
kemanusiaan kita adalah menghormati, menghargai dan membuka ruang
perjumpaan.
Saudari-saudara seiman yang terkasih,
Cara baru menjadi Gereja Katolik Indonesia
Faham Gereja menurut Konsili Vatikan II, yaitu Gereja sebagai
sakramen keselamatan dan persekutuan, diwujudkan dalam gereja setempat
di Indonesia dengan mengembang-kan jati dirinya sebagai persekutuan
komunitas-komunitas murid-murid Kristus yang menghadirkan Kerajaan
Allah. Agar kehadiran Gereja menjadi sukacita bagi warganya dan
masyarakat, Gereja Katolik tetap melanjutkan upayanya untuk mencari dan
melaksanakan cara baru menjadi Gereja Katolik Indonesia.
Gereja sebagai persekutuan komunitas-komunitas umat beriman lahir
dari persekutuan Tritunggal Mahakudus. Oleh sebab itu, hendaklah Gereja
masuk ke dalam misteri persekutuan dengan Allah, mengalami dan merasakan
perjumpaan pribadi dengan Allah sendiri melalui doa, kontemplasi, dan
sakramen-sakramen terutama Ekaristi, sumber dan puncak hidup beriman,
serta sakramen tobat. Perjumpaan dan persekutuan pribadi dengan Allah
dan dengan yang lain menjadi sumber sukacita sejati yang menjiwai dan
mendorong Gereja untuk mewartakan kabar sukacita kepada segala bangsa.
Kabar sukacita yang diwartakan hendaklah bertumbuh dari Kristus sendiri
yang berbicara dan menyapa manusia melalui Kitab Suci.
Persekutuan dengan Allah mendorong Gereja untuk keluar dari dirinya
sendiri, melewati lorong-lorong kehidupan untuk merangkul semua orang,
dan menjumpai mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan yang
terabaikan. Kepada siapa pun yang dijumpai, Gereja diutus untuk membawa
cintakasih dan kegembiraan, perdamaian dan keadilan, persatuan dan
persaudaraan sejati. Pintu Gereja terbuka untuk siapa saja, Gereja
adalah rumah bagi semua orang. Di dalam Gereja Kristus tidak ada orang
asing, karena semua orang adalah saudara.
Dalam menjalankan perutusannya untuk mencari dan menjumpai orang lain
dan dunia sekitarnya Gereja berupaya menampilkan wajah Allah yang
maharahim dan berbe-laskasih, peka terhadap bimbingan Roh Kudus untuk
selalu menyadari misteri ilahi di tengah segala kenyatan dan peristiwa
yang terjadi. Roh Kudus menjadi daya kekuatan bagi kita untuk
memantapkan iman, meneguhkan harapan akan masa depan yang lebih baik,
dan memancarkan kasih yang mempererat tali persaudaraan antar semua
orang, di mana Allah menjadi segala bagi semua.
Agar dapat melaksanakan perutusan tersebut, Gereja harus bersedia
membarui diri terus-menerus dalam bimbingan Roh Kudus, dan membenahi
tata organisasinya. Gereja menjadi bermakna bagi dunia dewasa ini dan
tidak kehilangan kredibilitasnya. Kehadiran dan pelayanan Gereja semakin
berbuah sukacita bagi siapa saja dan apa saja. Pembaruan diri Gereja
semakin berdampak, bila para gembala menjadi teladan dalam pelayanan
bagi seluruh umat. Keteladanan para pemimpin yang sederhana
membangkitkan harapan akan kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan
nilai dan suara hati yang dilakukan sejak dini mewujud dalam Gereja yang
merangkul setiap perbedaan demi persaudaraan sejati.
Saudari-saudara seiman yang terkasih,
Seruan Apostolik “Sukacita Injil” kami harapkan menjadi bahan
pembelajaran yang berkelanjutan bagi kami sendiri para waligereja, para
imam dan diakon, kaum religius serta umat beriman untuk mencecap
kesegaran dari Injil, sumber suka cita bagi kita yang menjadi saksi
Kristus pada zaman sekarang ini
18. Kita bersyukur bersama Maria, bunda evangelisasi, yang telah
menerima kabar sukacita dari malaikat Tuhan, dan mewartakan kabar
sukacita itu pertama-tama kepada Elisabeth, dan selanjutnya kepada
Gereja dan melalui Gereja kepada seluruh dunia. Sesuai dengan teladannya
marilah kita semua bertekun dan setia menapaki jalan salib kehidupan,
dan secara kreatif mengembangkan cara baru menjadi Gereja Katolik
Indonesia, sehingga Gereja menjadi sukacita bagi dunia. Terpujilah Yesus
Kristus kini dan sepanjang masa!
Jakarta, 5 November 2014
Konferensi Waligereja Indonesia,
Mgr. Ignatius Suharyo
K e t u a
Mgr. Johannes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal
0 comments:
Post a Comment