Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus
KOMUNI KUDUS DAN HIDUP KITA
KOMUNI KUDUS! Istilah atau kata ini tentu
tidak asing di telinga kita. Barangkali makna dan pengaruhnya dalam
hidup yang harus lebih kita dalami. Sebab untuk itulah komuni lalu menjadi sebuah “kata yang hidup”,
sebuah kata yang memiliki realita konkrit dalam hidup sehari-hari.
Saya kira
banyak dari kita paham bahwa komuni adalah salah satu inti pokok dari liturgi
ekaristi disamping doa syukur agung. Maksudnya ialah kalau ada suatu liturgi tanpa melibatkan doa syukur agung dan
komuni, maka liturgi itu tidak bisa disebut liturgi ekaristi. Kendati demikian
agar inti pokok itu terlaksana dalam liturgi ekaristi maka persembahan atau
persiapan roti dan anggur diperlukan dan ini menjadi sangat penting dan syarat
mutlak, meskipun tidak menjadi bagian inti liturgi ekaristi. Sebab tidak
mungkin ada komuni tanpa roti dan
anggur. Ketiga hal itu lalu secara bersama-sama
merupakan liturgi ekaristi.
Namun demikian
liturgi ekaristi sebagai inti perayaan ekaristi atau misa tidak berhenti di
situ. Dalam tata ekaristi, liturgi sabda menjadi bagian penting dan diperlukan.
Sebab di sana umat dipersiapkan untuk mengenang dan merenungkan karya
keselamatan Allah dalam hidup, pewartaan dan karya Yesus dan terutama wafat dan
kebangkitanNya. Dengan demikian umat kemudian bisa mengucap puji syukur kepada
Allah sebagaimana itu menjadi inti pokok dari doa syukur agung. Oleh karena itu
liturgi sabda benar-benar menjadi persiapan penting untuk liturgi ekaristi.
Pengaruh
Komuni Dalam Hidup Kita
Dalam liturgi ekaristi
ada tiga bagian pokok, tetapi dua diantaranya adalah inti liturgi ekaristi.
Bagian pokok itu adalah persembahan, doa syukur agung dan komuni. Dua yang
terakhir disebut inti liturgi ekaristi. Kendati persembahan tidak menjadi
bagian dari inti liturgi ekaristi, namun persembahan menjadi syarat penting
bahkan mutlak untuk terlaksananya liturgi ekaristi, sebab di dalam liturgi
ekaristi dibutuhkan roti dan anggur
sebagai lambang yang pada hakekatnya mengandung makna dan nilai dari pemberian
umat selain pemberian uang untuk keperluan Gereja dan kaum miskin. Persembahan
lalu dimengerti sebagai pemberian umat bukan pertama-tama kepada Allah
melainkan kepada Gereja yang kemudian oleh Gereja dipersembahkan atau
dihunjukkan kepada Tuhan di dalam
liturgi ekaristi. Dalam arti inilah maka dalam perayaan ekaristi atau misa umat
diperbolehkan persembahan berupa hasil
bumi misalnya padi, sayuran dan buah-buahan dls. Namun roti dan anggur tetap
menjadi bahan penting untuk terlaksananya liturgi ekaristi.
Doa syukur agung
dan komuni merupakan pusat dan puncak dari liturgi ekaristi (fons et culmen). Atau dengan kata lain
inilah inti liturgi ekaristi sebab di dalam doa syukur agung dan komuni itu
iman Gereja diungkapkan secara resmi dalam doa puji syukur dan dalam doa
pengudusan. Intinya adalah Gereja mengajak kita / umat bersyukur atas kebaikan
Tuhan bukan saja kebaikan masa lampau tetapi terutama masa kini. Kita diajak
bersyukur atas kekuatan Tuhan dan daya illahiNya, bersyukur atas keagungan dan
kasihNya yang dinyatakan kepada kita. Bersyukur atas perlindungan dan jaminan
Tuhan atas hidup kita dan atas kasihNya kepada kita yang tiada tara. Karena itu
pantaslah kita me-ngenang tanda kasih Allah itu teristimewa kasih Allah yang
terbesar yaitu wafat Kristus (anamnese)
yang tentu juga atas kebangkitanNya yang mulia.
Seluruh isi doa
puji syukur sebagai ungkapan resmi iman Gereja, menjadikan kita dipersatukan
dengan Kristus dan Allah oleh dan karena iman itu ketika kita mengenang wafat
dan kebangkitanNya dan sekaligus dengan itu kita diperkenankan mengambil bagian
di dalam pengharapan akan kebangkitan dan kehidupan abadi. Dan berkat iman
Gereja juga dan oleh karya Roh Kudus, melalui doa pengudusan atas roti dan
anggur kita dapat berjumpa dengan Kristus. Roti dan anggur berubah bukan
sekedar menjadi tanda tetapi sungguh-sungguh Kristus hadir. Barangsiapa
menyambut roti dan anggur itu dengan menyantapnya. ia menyambut kehadiran
Kristus. Kristus hadir dalam hati orang yang menyambutNya
Kristus hadir di dalam Gereja. Kristus hadir dalam setiap perayaan Gereja.
Maka komuni
menjadi bagian inti liturgi yang penting. Sebab persatuan kita dengan Kristus
terjadi ketika kita menyambut roti dan anggur yang telah dikuduskan dengan
menyantapnya. Melalui komuni sesuai
dengan artinya (Communio-kesatuan)
maka kita dipersatukan dengan Kristus. Kita tinggal di dalam Kristus dan
Kristus juga tinggal di dalam kita. Persatuan demikian menurut St. Yohanes akan
menghasilkan buah. “ Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku tinggal di dalam
dia, ia akan berbuah banyak (Yoh. 15: 4 -5) Maka setelah sekian kali - mungkin
ratusan kali - kita me-nyambut komuni, sungguhkah kita telah
menghasilkan buah ?
Menurut Bapa
Suci Benediktus XVI – dalam buku Paus
Benediktus XVI, Sepuluh Gagasan Yang Mengubah Dunia, Kanisius 2007 -
ekaristi bila disikapi dengan sungguh-sungguh merupakan kekuatan yang luar
biasa, kekuatan yang mampu mengubah dunia. Pada level pribadi kekuatan yang
mampu mengubah dunia itu ialah iman ekaristi yaitu iman yang mendorong kita
menjalani kehidupan menurut model Kristus. Apa yang telah kita santap ( komuni
) menjadikan hidup kita selaras dengan model Kristus itu ( St.Augustinus ).
Dengan kata lain setiap orang yang dipimpin Roh karena persatuan kita dengan
Kristus maka orang itu akan menghasilkan buah. Dan buah dari roh menurut St. Paulus adalah kasih, sukacita,
kebaikan, damai sejahtera, kesabaran, kemu-rahan,
kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri ( Gal. 5: 22) Dan kasih sendiri
adalah sabar, murah hati, tidak sombong, tidak egois, tidak dendam, tidak iri
hati ( cemburu) ( 1 Kor. 13:4-5) Inilah beberapa bagian dari hidup menurut model Kristus.
Tentu bagi
kita iman ekaristi bahwa persatuan kita dengan Kristus terjadi melalui komuni
kudus selayaknya terus menerus kita renungkan: apakah kita memang telah dan
sedang mengalami perubahan atau pembaharuan hidup karena sering menyambut
komuni kudus? Katakanlah dalam kehidupan sehari-hari, yang semula kita suka marah-marah misalnya
kini menjadi lebih sabar, lebih mampu mengontrol emosi. Mampu mengusai diri
dari kecenderungan-kecenderungan berbuat buruk, tidak lagi gemar membicarakan
keburukan orang lain “ nggrenengi”, menjadi bijaksana dalam bicara terutama
menyangkut orang lain dan keburukannya. Tindakan-tindakan kebaikan yang
didasari kasih makin menonjol. Dalam kehidupan religius secara pribadi, makin kentara mulai mempunyai kebiasaan
melakukan doa pribadi atau perenungan sabda Tuhan ( membaca Kitab Suci), rindu
untuk selalu ikut perayaan ekaristi atau kegiatan olah rohani lainnya. Tentu
kita masih bisa menggali lebih dalam.
Dalam suatu
riset yang diterbitkan oleh seorang professor dari Universitas Virginia
Bradford Wilcox dan polling yang dilakukan oleh Gallup sebuah organisasi riset
di Amerika menyimpulkan bahwa orang yang rajin mengikuti kebaktian terutama
para pria Amerika hidupnya akan lebih bahagia. Pernikahannya bila pria itu
sudah menikah, ia lebih bertanggung jawab terhadap pendidikan anak dan tidak
suka melakukan kekerasan fisik terhadap anak maupun isteri. Orang juga memiliki
emosi positip dari pada orang yang tak pernah datang ke Gereja yaitu bisa
menikmati hidup, segar dan murah senyum serta suka melakukan sesuatu yang
menarik dalam kebaikan.( www.jawaban.com)
Riset ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru berkaitan
dengan iman ekaristi, namun toh bisa memberikan gambaran yang sama bahwa
kebiasaan menyambut tubuh dan darah Kristus (komuni) secara personal seharusnya
makin mengubah hidup kita, hidup yang diperbaharui.
Pada level
sosial, iman ekaristi, persatuan kita dengan Kristus mendorong kita melakukan
usaha-usaha membangun suatu dunia atau masyarakat di mana kasih Kristus yang
selalu diperbaharui pada waktu ekaristi,
menjadi landasan bagi masyarakat yang dibangun itu sekalipun terpaksa berlawanan
dengan ideologi, keuntungan atau kehendak buta akan kekuasaan. Bapa Paus
mengingatkan kita betapa pentingnya kasih yang ditimba dari kasih Kristus
menjadi landasan dalam usaha-usaha membangun kehidupan bersama termasuk
keluarga dan linkungan kita St. Petrus.
Bila hal itu terus bergerak dari kehidupan bersama yang satu ke
kehidupan bersama yang lain, maka dunia akan sungguh berubah Menurut St. Yohanes “Inilah kemenangan yang
mengalahkan dunia, iman kita “ (1 Yoh. 5:4) Tentu saja usaha-usaha demikian
tidak mudah, sebab harus mengadapi berbagai tantang yang tidak ingin dunia
berubah.
Bagaimana
dengan kehidupan bersama kita terutama keluarga dan lingkungan St. Petrus?
Tentu saja bila kita sebagai pribadi senantiasa menyambut komuni, kita percaya kasih Kristus akan makin kentara dalam
usaha-usaha yang kita lakukan demi dan untuk keluarga dan lingkungan kita.yang
lebih baik. Ledakan kebaikan dari pemecahan nuklir inti terdalam makhluk yaitu
kemenangan kasih atas kebencian dan kematian, sedikit demi
sedikit akan memicu rangkaian perubahan lain
menuju dunia yang lebih baik – demikian Bapa Paus menggambarkan kekuatan
kasih Kristus yang senantiasa disegarkan dalam perayaan ekaristi bagi kehidupan
bersama.
Hidup
Subur
Akhirnya kita
tahu bahwa buah-buah kehidupan itu muncul dari hidup yang subur. Hidup yang
berasal dari penyerahan diri kita kepada Allah, sebagai jawaban atas undangan
Kristus kepada kita “ Tinggallah di dalam Aku, dan Aku di dalam kamu” (Yoh.
15:4) Inilah kehidupan rohani kita. Akan tetapi kehidupan rohani itu tidak
dengan sendirinya menghasilkan buah bila tidak dipupuk dengan kasih mesra.
Itulah sebabnya mengapa St. Yohanes berbicara mengenai iman dan kasih itu
memiliki kaitan erat bahkan azasi. Karena iman kepada Allah dalam Roh Yesus,
kita menerima Allah sebagai Bapa ( 1 Yoh.4:26) dan karena itu kita harus
melakukan perintah-perintahNya. Perintah itu ialah mengasihi Allah (Mrk.12:30).
Akan tetapi kasih kepada Allah itu membutuhkan
ungkapan dan ungkapan itu nyata dalam kasih kita kepada sesama.
Bila Yohanes
Pembaptis berbicara keras tentang pohon yang tidak berbuah ditebang dan dibuang
ke dalam api (Mat. 3: 10) itu
mengingatkan kita akan arti penting hidup rohani kita. Sebab hidup rohani yang
tidak berbuah adalah hidup rohani yang mandul. Tentu bagi kita sangat tidak
nyaman atau enak disebut sebagai orang mandul. Barangkali yang lebih
menyakitkan kalau kita disebut orang katolik yang tidak menghasilkan buah
kakatolikkannya, sekalipun setiap hari kita menyambut komuni. Untuk itu marilah
merenungkan prinsip-prinsip dasar hidup seorang yang memiliki hidup subur
sebagai penutup tulisan ini Ada tiga segi kehidupan yang subur menurut Henri JM.Nouwen dalam bukunya “Tanda-Tanda Kehidupan” :
1. Hidup yang subur adalah hidup yang tidak menutup diri dengan
segala pertahanan diri, melainkan hidup yang terbuka terhadap kelemahan
sekalipun rawan terhadap luka hidup. Yesus Kristus menjadi pola hidup subur
yaitu hidup “terbuka mudah kena”(vulnerability) bahwa sekalipun Allah, Ia tidak
mengganggap kesetaraanNya itu sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan,
justru mengosongkan diriNya sendiri dan menjadi sama dengan manusia ( Flp. 2: 6
– 7)
2. Hidup yang subur adalah hidup yang penuh syukur. Syukur yang
mengalir dari anugerah Tuhan yang Ia berikan dalam kasih dengan cuma-cuma
kepada kita sebagai anugerah dan kita bagirasakan kepada saudara-saudara kita.
Dalam kisah pergandaan roti (Yoh. 6 : 5-15) kita melihat bagaimana Yesus
memberi contoh menghayati hidup subur. Setelah mengucapkan syukur atas lima
roti dan dua ikan, Ia menyuruh para murid membagikannya kepada orang banyak. Membagikan kebaikan karena kebaikan hati Allah adalah
ciri hidup subur.
3. Hidup subur adalah hidup yang dipelihara dan diperhatikan.
Buah kehidupan tidak muncul dengan sendirinya
tanpa ada pemeliharaan dan perhatiaan.Yesus memberikan contoh kepada kita bagaimana Ia memberikan
perhatian kepada orang-orang yang Ia jumpai tanpa memaksa atau mengusai,
melainkan melalui sabda dan tindakanNya Ia menawarkan kesempatan
kepada mereka untuk mencari arah hidup dan keputusan-keputusan yang baru.
0 comments:
Post a Comment