MACAM-MACAM INKULTURASI
Renungan BKL 15 Mei 2014
Renungan BKL kita hari
ini mengajak kita untuk mengenali macam-macam inkulturasi. Dalam
renungan-renungan sebelumnya, BKL kita telah menyajikan renungan di bidang
liturgi yang bersifat inkulturatif,
seperti mengenai bahasa liturgi, pelaksanaan Misa bernuansa Jawa dan
pelaksanaaan Misa berkaitan dengan penanggalan Jawa atau tradisi Jawa seperti
peringatan malam Suro, peringatan arwah bahkan tahun baru Imlek.
Renungan-renungan itu diharapkan membawa
kita lebih terbuka terhadap perayaan iman dalam konteks budaya kita. Dengan
kata lain diharapkan bisa terjadi transformasi batin dari nilai-nilai budaya
otentik kepada pengakaran nilai-nilai Injil dalam hidup kita seperti dikatakan
dalam bahan BKL kita yang ke 13.
Lalu apa sesungguhnya
yang dimaksud dengan inkulturasi termasuk inkulturasi liturgi sebelum kita
mengenal macam-macam inkulturasi yang lain? Inkulturasi dalam bahasa Inggris inculturation atau inculturatio dalam bahasa Latin. In artinya masuk, culture artinya
kebudayaan. Secara etimologis, inkulturasi berarti masuknya sesuatu ke dalam
kebudayaan, atau meresapnya sesuatu ke dalam kebudayaan, atau juga menjelmanya
sesuatu ke dalam kebudayaan. Apa yang
masuk, meresap atau menjelma ke dalam kebudayaan, tentu saja iman kita, iman
kristiani. Maka inkulturasi lalu berarti usaha atau upaya terus menerus agar
iman kristiani dihayati dalam konteks budaya setempat. Singkat kata inkulturasi
adalah usaha atau upaya untuk membawa iman kristiani ke dalam konteks pelbagai kebudayaan manusia yang berbeda-beda
Sedangkan inkulturasi di bidang liturgi atau
inkulturasi liturgi adalah usaha atau upaya agar liturgi bisa dimengerti dan
diterima serta bisa dihayati dalam situasi budaya setempat. Upaya atau usaha
semacam ini tentu saja tidak sekali saja dilakukan, melainkan harus terus
menerus hingga akhirnya liturgi sungguh menjelma menjadi liturgi yang sesuai
dengan budaya setempat. Tapi perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi tolok ukur
keberhasilan inkulturasi liturgi bukan pada banyaknya unsur-unsur budaya
setempat yang diambil, melainkan apakah usaha atau upaya itu menjamin iman
kristiani dihayati dengan pas atau mengena di hati. Kalau tidak, tentu apa
gunanya banyak "tetek bengek" unsur-unsur budaya dipakai tapi tidak
berdampak pada kehidupan iman yang lebih baik dan mendalam. Oleh karena itu
dalam rangka inkulturasi liturgi perlu dengan teliti melihat unsur-unsur budaya
setempat, mana yang cocok atau mana yang mampu mengungkapkan iman dan mana yang
tidak. Yang mampu mengungkapkan iman kita ambil/terima, yang tidak mendukung
tentu saja kita tinggalkan, kalau mungkin kita bersihkan sehingga bisa
mengungkapkan iman kita.
Instruksi Liturgi Romawi dan Inkulturasi yang
diterbitkan Tahta Suci sebagaimana dikutip dalam BKL kita, menetapkan azas-azas
dan bidang apa saja yang dapat diinkulturasikan dalam ritus Romawi seperti kita
punya. Hal ini membuka kesempatan sangat luas terhadap apa saja, misalnya sarana-sarana perayaan liturgi, tata gerak dan sikap badan,
terbuka terhadap upaya penginkulturasian.
Keluhan-keluahan yang terjadi saat ini ialah mengenai belum adanya
keseragam tata gerak yang boleh dilakukan umat. Ketika doa Bapa kami dinyanyikan
atau dipanjatkan dalam perayaan Ekaristi, sebagian umat mengangkat dan membuka
tangan sementara yang lain tidak melakukan apa-apa.
Mari kita sekarang
melihat apa saja yang bisa diinkulturasikan selain di bidang liturgi? Dalam
buku BKL, kita diberi contoh bahwa
inkulturasi itu tidak hanya berlangsung di bidang liturgi, melainkan juga di
bidang Kitab Suci. Penterjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Jawa dan Indonesia,
meskipun hal semacam ini pernah dilakukan oleh kelompok "tujuh puluh"
Septuagiant yang dikenal dengan nama LXX dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani.
Dalam konteks budaya kita penterjemahan ini tentu dimaksudkan agar kita dengan
mudah bisa membaca Kitab Suci dan
sedikit memahami maksudnya. Yang terpenting agar kita bisa mendengar Sabda
Tuhan tatkala Kitab Suci dibacakan, tetapi juga bisa merenungkannya karena kita
mendengar dalam bahasa kita sendiri. BKL
kita masih memberi contoh-contoh lain seperti penterjemahan istilah-istilah
teologis, inkulturasi di bidang eklesiologi, apakah itu seni dan karya seni
bahkan pakaian-pakaian hidup membiara pun disesuaikan bukan saja terhadap budaya kita, tetapi juga terhadap iklim
tropis.
Sekarang pertanyaannya bagi
kita: apakah usaha-usaha yang telah dan sedang dilakukan oleh Gereja dalam soal
inkulturasi ini memberikan kepada kita semangat untuk lebih mencintai
perayaan Ekaristi, atau perayaan liturgi yang lain, sehingga membawa keterlibatan kita ke dalamnya lebih maksimal?
0 comments:
Post a Comment