Tuesday, 13 May 2014

Renungan BKL 15 Mei 2014


MACAM-MACAM INKULTURASI
Renungan BKL 15 Mei 2014

Renungan BKL kita hari ini mengajak kita untuk mengenali macam-macam inkulturasi. Dalam renungan-renungan sebelumnya, BKL kita telah menyajikan renungan di bidang liturgi  yang bersifat inkulturatif, seperti mengenai bahasa liturgi, pelaksanaan Misa bernuansa Jawa dan pelaksanaaan Misa berkaitan dengan penanggalan Jawa atau tradisi Jawa seperti peringatan malam Suro, peringatan arwah bahkan tahun baru Imlek. Renungan-renungan itu  diharapkan membawa kita lebih terbuka terhadap perayaan iman dalam konteks budaya kita. Dengan kata lain diharapkan bisa terjadi transformasi batin dari nilai-nilai budaya otentik kepada pengakaran nilai-nilai Injil dalam hidup kita seperti dikatakan dalam bahan BKL kita yang ke 13.

Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan inkulturasi termasuk inkulturasi liturgi sebelum kita mengenal macam-macam inkulturasi yang lain? Inkulturasi dalam bahasa Inggris inculturation atau inculturatio dalam bahasa Latin. In artinya masuk, culture artinya kebudayaan. Secara etimologis, inkulturasi berarti masuknya sesuatu ke dalam kebudayaan, atau meresapnya sesuatu ke dalam kebudayaan, atau juga menjelmanya sesuatu ke dalam kebudayaan.  Apa yang masuk, meresap atau menjelma ke dalam kebudayaan, tentu saja iman kita, iman kristiani. Maka inkulturasi lalu berarti usaha atau upaya terus menerus agar iman kristiani dihayati dalam konteks budaya setempat. Singkat kata inkulturasi adalah usaha atau upaya untuk membawa iman kristiani ke dalam konteks  pelbagai kebudayaan manusia yang berbeda-beda

Sedangkan  inkulturasi di bidang liturgi atau inkulturasi liturgi adalah usaha atau upaya agar liturgi bisa dimengerti dan diterima serta bisa dihayati dalam situasi budaya setempat. Upaya atau usaha semacam ini tentu saja tidak sekali saja dilakukan, melainkan harus terus menerus hingga akhirnya liturgi sungguh menjelma menjadi liturgi yang sesuai dengan budaya setempat. Tapi perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi tolok ukur keberhasilan inkulturasi liturgi bukan pada banyaknya unsur-unsur budaya setempat yang diambil, melainkan apakah usaha atau upaya itu menjamin iman kristiani dihayati dengan pas atau mengena di hati. Kalau tidak, tentu apa gunanya banyak "tetek bengek" unsur-unsur budaya dipakai tapi tidak berdampak pada kehidupan iman yang lebih baik dan mendalam. Oleh karena itu dalam rangka inkulturasi liturgi perlu dengan teliti melihat unsur-unsur budaya setempat, mana yang cocok atau mana yang mampu mengungkapkan iman dan mana yang tidak. Yang mampu mengungkapkan iman kita ambil/terima, yang tidak mendukung tentu saja kita tinggalkan, kalau mungkin kita bersihkan sehingga bisa mengungkapkan iman kita.

Instruksi Liturgi Romawi dan Inkulturasi yang diterbitkan Tahta Suci sebagaimana dikutip dalam BKL kita, menetapkan azas-azas dan bidang apa saja yang dapat diinkulturasikan dalam ritus Romawi seperti kita punya. Hal ini membuka kesempatan sangat luas terhadap apa saja, misalnya sarana-sarana  perayaan liturgi, tata gerak dan sikap badan, terbuka terhadap upaya penginkulturasian.  Keluhan-keluahan yang terjadi saat ini ialah mengenai belum adanya keseragam tata gerak yang boleh dilakukan umat. Ketika doa Bapa kami dinyanyikan atau dipanjatkan dalam perayaan Ekaristi, sebagian umat mengangkat dan membuka tangan sementara yang lain tidak melakukan apa-apa.

Mari kita sekarang melihat apa saja yang bisa diinkulturasikan selain di bidang liturgi? Dalam buku BKL,  kita diberi contoh bahwa inkulturasi itu tidak hanya berlangsung di bidang liturgi, melainkan juga di bidang Kitab Suci. Penterjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Jawa dan Indonesia, meskipun hal semacam ini pernah dilakukan oleh kelompok "tujuh puluh" Septuagiant yang dikenal dengan nama LXX dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani. Dalam konteks budaya kita penterjemahan ini tentu dimaksudkan agar kita dengan mudah bisa membaca Kitab  Suci dan sedikit memahami maksudnya. Yang terpenting agar kita bisa mendengar Sabda Tuhan tatkala Kitab Suci dibacakan, tetapi juga bisa merenungkannya karena kita mendengar dalam bahasa kita  sendiri. BKL kita masih memberi contoh-contoh lain seperti penterjemahan istilah-istilah teologis, inkulturasi di bidang eklesiologi, apakah itu seni dan karya seni bahkan pakaian-pakaian hidup membiara pun disesuaikan bukan saja terhadap  budaya kita, tetapi juga terhadap iklim tropis.

Sekarang pertanyaannya bagi kita: apakah usaha-usaha yang telah dan sedang dilakukan oleh Gereja dalam soal inkulturasi ini memberikan kepada kita semangat untuk lebih mencintai perayaan Ekaristi, atau perayaan liturgi yang lain, sehingga membawa  keterlibatan kita ke dalamnya lebih maksimal?





0 comments:

Post a Comment