MERENUNGKAN SUKA CITA INJIL
Renungan BKL
Hari Pertama
Kamis,
01
Mei 2014
Bahan
katekese liturgi kita hari ini mengajak kita untuk merenungkan suka cita Injil
(Evangelii Gaudium). Dalam buku kecil
(Formatio Iman dalam Liturgi),
dipaparkan contoh bagaimana orang mengalami suka cita Injil. Sepasang suami
istri tua, keluar dari gedung gereja seusai mengikuti perayaan Ekaristi. Wajahnya
tampak memancarkan ketulusan, keramahan dan kegembiraan dari dalam batinnya.
Orang-orang yang berjumpa dengan mereka atau yang dijumpai mereka merasa ada
rasa damai dan suka cita seperti mereka alami. Inilah sepasang suami isteri
yang mengalami suka cita Injil.
Contoh ini
mau menunjukkan kepada kita bahwa orang yang sungguh berjumpa dengan Allah
terutama dalam perayaan Ekaristi akan mengalami suka cita sejati yaitu suka
cita yang berasal dari Allah, suka cita Injil. Tentu bukan suka cita yang
berasal kekayaan, pangkat, jabatan, status, gengsi, popularitas, kedudukan di
Gereja atau di masyarakat. Menurut Bapa Suci Fransiskus, suka cita Injil
semacam ini akan memenuhi dan menghidupi orang yang berjumpa dengan Yesus.
Orang-orang yang menerima tawaran keselamatan-Nya, orang-orang yang merasa
dibebaskan dari dosa, kekosongan batin dan kesepian.
Apa yang
dikatakan Bapa Paus ini kiranya mau menegaskan kepada kita sekali lagi bahwa perjumpaan dengan Allah sungguh akan membawa
kita pada suka cita Injil. Suka cita
semacam ini sangat diharapkan agar dialami oleh semua orang beriman dari segala
usia sebagaimana diamanatkan Ardas kita 2011-2015. Oleh karena itu formatio
iman atau pendalaman iman secara berjenjang dan berkelanjutan akan terus
diupayakan oleh Gereja kita Keuskupan Agung Semarang. Dengan demikian kesaksian
suka cita Injil dapat diwartakan dan dipancarkan termasuk segala usaha memupuk
semangat umat kristen di seluruh dunia.
Bila kita
merenungkan lebih lanjut bahwa suka cita Injil berasal dari perjumpaan kita
dengan Allah, maka apa yang seharusnya kita lakukan agar perjumpaan itu sungguh
kita alami? Cukupkah kita merenungkan atau membaca buku renungan Formatio Iman
dalam Liturgi atau mendiskusikannya? Tentu saja tidak ! Barangkali harus
ada yang kita lakukan selain itu, terutama secara pribadi. Sebab perjumpaan
Allah dengan kita tak pernah merupakan perjumpaan yang bersifat umum, melainkan
perjumpaan yang bersifat pribadi. Ia hadir dalam hati kita secara pribadi.
Itulah sebabnya religiusitas seseorang
pertama-tama tidak tumbuh dalam
hidup bersama melainkan dalam hidup pribadi, dalam hidup masing-masing
setiap pribadi. Oleh karena itu kondisi hidup pribadi harus kita siapkan agar
Allah berkenan hadir dalam hidup kita.
Lalu kondisi
pribadi apa yang harus kita persiapkan ?
Pertama-tama adalah sikap rendah hati. Tidak pernah Tuhan hadir dalam hati
kita, tanpa kita bersikap rendah hati. Tuhan tidak akan pernah hadir dalam hati
orang yang sombong, congkah, angkuh, merasa paling benar, tidak pernah mengaku
salah meskipun salah, tidak pernah merasa berdosa meskipun berdosa. Hanya hati
yang bertobat, mengakui kesalahan dan dosa, Tuhan hadir. Pernyataan tobat dalam
perayaan Ekaristi, bukanlah pelengkap melainkan hakiki bagi persiapan hadirNya
Tuhan dalam hati umatNya yang merayakan Ekaristi.
Kedua, hati
yang terbuka. Tidaklah cukup dengan rendah hati kita mengharapkan kehadiran
Tuhan, tanpa tak pernah hati kita terbuka, terbuka terhadap sabdaNya. Hati
terbuka adalah hati yang siap mendengarkan sabda Tuhan dan merenungkannya dalam
hati. Maka mendengarkan sabda Tuhan seperti dalam perayaan Ekaristi menjadi
bagian penting dalam persiapan pribadi sebelum kita menerima sakramen maha
kudus (komuni). Seringkali tanpa sadar kita justru menutup hati kita dengan
mengabaikan atau kurang mendengarkan sabda Tuhan apalagi merenungkan sekalipun
Romo memberikan homili sebagai penjelasan atau renungan dari apa yang kita
dengar dari pembacaan Kitab Suci. Bahkan ketika homili itu disampaikan, kita
kurang serius mendengarkan. Hati terbuka menjadi kondisi yang harus kita
miliki, sebab sabda Tuhan sendiri sesungguhnya adalah tanda kehadiran Allah.
Ketiga, iman yang mantap. Tuhan tak akan pernah hadir pada orang yang tidak percaya atau
ragu-ragu. Hanya pada iman yang mantap dan mendalam, Tuhan hadir. Iman yang
mantap adalah iman yang mengungkapkan penyerahan diri tanpa embel-embel, tanpa
syarat apapun, total kepada Tuhan. Tidak ada ada tempat bergantung, selain
kepada Dia yang telah menyerahkan nyawaNya untuk kita yang pada hari ketiga
bangkit dari mati serta naik ke surga dengan mulia, mengutus Roh Kudus untuk
menyertai kita, hingga Ia datang kembali dalam kemulianNya sebagai Raja Alam
semesta. Iman yang mantap akan Kristus ini harus menjadi kondisi hidup pribadi
kita miliki yang paling hakiki. Maka dalam perayaan Ekaristi pengakuan iman
yang kita ucapkan sesudah homili menjadi sangat penting bagi kita. Di sana
melalui dan dalam pengakuan iman, kita siap menyambut kehadiran Tuhan secara
nyata dalam rupa roti anggur. Inilah iman, iman yang harus ada dalam hidup
pribadi kita, kalau kita ingin agar Tuhan hadir dalam hati kita.
Perjumpaan
dengan Allah membutuhkan kondisi pribadi, kondisi yang harus ada dalam hidup
kita yaitu, iman, sikap rendah hati dan hati terbuka. Melalui kondisi ini kita
percaya Allah akan hadir dalam hati kita. Kehadiran-Nya akan membawa suka cita,
suka sejati yaitu suka cita Injil yang kita harapkan. Sudahkah kita siap?
0 comments:
Post a Comment