Friday, 2 May 2014

Renungan BKL 01 Mei 2014

MERENUNGKAN SUKA CITA INJIL
Renungan BKL Hari Pertama
Kamis, 01 Mei 2014

Bahan katekese liturgi kita hari ini mengajak kita untuk merenungkan suka cita Injil (Evangelii Gaudium). Dalam buku kecil  (Formatio Iman dalam Liturgi), dipaparkan contoh bagaimana orang mengalami suka cita Injil. Sepasang suami istri tua, keluar dari gedung gereja seusai mengikuti perayaan Ekaristi. Wajahnya tampak memancarkan ketulusan, keramahan dan kegembiraan dari dalam batinnya. Orang-orang yang berjumpa dengan mereka atau yang dijumpai mereka merasa ada rasa damai dan suka cita seperti mereka alami. Inilah sepasang suami isteri yang mengalami suka cita Injil.

Contoh ini mau menunjukkan kepada kita bahwa orang yang sungguh berjumpa dengan Allah terutama dalam perayaan Ekaristi akan mengalami suka cita sejati yaitu suka cita yang berasal dari Allah, suka cita Injil. Tentu bukan suka cita yang berasal kekayaan, pangkat, jabatan, status, gengsi, popularitas, kedudukan di Gereja atau di masyarakat. Menurut Bapa Suci Fransiskus, suka cita Injil semacam ini akan memenuhi dan menghidupi orang yang berjumpa dengan Yesus. Orang-orang yang menerima tawaran keselamatan-Nya, orang-orang yang merasa dibebaskan dari dosa, kekosongan batin dan kesepian.

Apa yang dikatakan Bapa Paus ini kiranya mau menegaskan kepada kita  sekali lagi bahwa  perjumpaan dengan Allah sungguh akan membawa kita pada suka cita Injil.  Suka cita semacam ini sangat diharapkan agar dialami oleh semua orang beriman dari segala usia sebagaimana diamanatkan Ardas kita 2011-2015. Oleh karena itu formatio iman atau pendalaman iman secara berjenjang dan berkelanjutan akan terus diupayakan oleh Gereja kita Keuskupan Agung Semarang. Dengan demikian kesaksian suka cita Injil dapat diwartakan dan dipancarkan termasuk segala usaha memupuk semangat umat kristen di seluruh dunia.

Bila kita merenungkan lebih lanjut bahwa suka cita Injil berasal dari perjumpaan kita dengan Allah, maka apa yang seharusnya kita lakukan agar perjumpaan itu sungguh kita alami? Cukupkah kita merenungkan atau membaca buku renungan Formatio Iman dalam Liturgi atau mendiskusikannya? Tentu saja tidak ! Barangkali harus ada yang kita lakukan selain itu, terutama secara pribadi. Sebab perjumpaan Allah dengan kita tak pernah merupakan perjumpaan yang bersifat umum, melainkan perjumpaan yang bersifat pribadi. Ia hadir dalam hati kita secara pribadi. Itulah sebabnya religiusitas seseorang  pertama-tama tidak tumbuh dalam  hidup bersama melainkan dalam hidup pribadi, dalam hidup masing-masing setiap pribadi. Oleh karena itu kondisi hidup pribadi harus kita siapkan agar Allah berkenan hadir dalam hidup kita.

Lalu kondisi pribadi  apa yang harus kita persiapkan ? Pertama-tama adalah sikap rendah hati. Tidak pernah Tuhan hadir dalam hati kita, tanpa kita bersikap rendah hati. Tuhan tidak akan pernah hadir dalam hati orang yang sombong, congkah, angkuh, merasa paling benar, tidak pernah mengaku salah meskipun salah, tidak pernah merasa berdosa meskipun berdosa. Hanya hati yang bertobat, mengakui kesalahan dan dosa, Tuhan hadir. Pernyataan tobat dalam perayaan Ekaristi, bukanlah pelengkap melainkan hakiki bagi persiapan hadirNya Tuhan dalam hati umatNya yang merayakan Ekaristi.

Kedua, hati yang terbuka. Tidaklah cukup dengan rendah hati kita mengharapkan kehadiran Tuhan, tanpa tak pernah hati kita terbuka, terbuka terhadap sabdaNya. Hati terbuka adalah hati yang siap mendengarkan sabda Tuhan dan merenungkannya dalam hati. Maka mendengarkan sabda Tuhan seperti dalam perayaan Ekaristi menjadi bagian penting dalam persiapan pribadi sebelum kita menerima sakramen maha kudus (komuni). Seringkali tanpa sadar kita justru menutup hati kita dengan mengabaikan atau kurang mendengarkan sabda Tuhan apalagi merenungkan sekalipun Romo memberikan homili sebagai penjelasan atau renungan dari apa yang kita dengar dari pembacaan Kitab Suci. Bahkan ketika homili itu disampaikan, kita kurang serius mendengarkan. Hati terbuka menjadi kondisi yang harus kita miliki, sebab sabda Tuhan sendiri sesungguhnya adalah tanda kehadiran Allah.

Ketiga,  iman yang mantap. Tuhan tak akan pernah  hadir pada orang yang tidak percaya atau ragu-ragu. Hanya pada iman yang mantap dan mendalam, Tuhan hadir. Iman yang mantap adalah iman yang mengungkapkan penyerahan diri tanpa embel-embel, tanpa syarat apapun, total kepada Tuhan. Tidak ada ada tempat bergantung, selain kepada Dia yang telah menyerahkan nyawaNya untuk kita yang pada hari ketiga bangkit dari mati serta naik ke surga dengan mulia, mengutus Roh Kudus untuk menyertai kita, hingga Ia datang kembali dalam kemulianNya sebagai Raja Alam semesta. Iman yang mantap akan Kristus ini harus menjadi kondisi hidup pribadi kita miliki yang paling hakiki. Maka dalam perayaan Ekaristi pengakuan iman yang kita ucapkan sesudah homili menjadi sangat penting bagi kita. Di sana melalui dan dalam pengakuan iman, kita siap menyambut kehadiran Tuhan secara nyata dalam rupa roti anggur. Inilah iman, iman yang harus ada dalam hidup pribadi kita, kalau kita ingin agar Tuhan hadir dalam hati kita.

Perjumpaan dengan Allah membutuhkan kondisi pribadi, kondisi yang harus ada dalam hidup kita yaitu, iman, sikap rendah hati dan hati terbuka. Melalui kondisi ini kita percaya Allah akan hadir dalam hati kita. Kehadiran-Nya akan membawa suka cita, suka sejati yaitu suka cita Injil yang kita harapkan. Sudahkah kita siap?

0 comments:

Post a Comment