WEWENANG MENGATUR LITURGI
Renungan BKL 05 Mei 2014
Renungan kita hari ini
mengangkat tema " Wewenang Mengatur Liturgi". Siapa yang sesungguhnya
boleh mengatur liturgi? Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam perayaan
liturgi: apakah itu soal busana liturgi, soal sikap duduk, berdiri, berlutut,
soal doa liturgis mana yang boleh diucapkan imam atau umat, seringkali menimbulkan
pertanyaan, bahkan bisa jadi saling menyalahkan atau saling membenarkan diri.
Untuk menyikapi hal-hal semacam itu, maka hari ini kita diajak untuk
merenungkan tentang wewenang mengatur liturgi.
Dalam renungan kita hari
ini, renungan ke lima, kita mendapat penjelasan bahwa wewenang mengatur liturgi
apakah itu liturgi sakramen Ekaristi dan sakramen-sakramen lain, liturgi
sakramentali, liturgi profesi religius, ibadat harian dan liturgi upacara
pemakaman, pertama-tama ada pada Tahta Apostulik dan kaidah hukum pada uskup.
Kita sering menyebut ada pada Roma. Tetapi pada batas-batas tertentu wewenang
itu juga dimiliki oleh Konferensi Wali Gereja (kumpulan para uskup di suatu
negara) atau para uskup berdasarkan kuasa yang diberikan hukum. Wewenang ini
tertulis jelas dalam Sacrosanctum Concilium ( Kontitusi Liturgi) artikel 21
dokumen Konsili Vatikan II. Karena itu konsekwensinya, tidak seorang pun termasuk
imam apalagi umat boleh mengubah atau
menambah aturan atau tatacara liturgi menurut kehendaknya sendiri. Pemusatan
wewenang mengatur liturgi ini dimaksudkan untuk menjaga misteri iman yang
sangat agung melalui norma-norma liturgi yang telah ditetapkan. Jangan sampai
misteri iman ini, pusat dan pokok iman Gereja dinodai oleh tindakan-tindakan
seenaknya atau ngawur, seperti pernah diperingatkan oleh Santo Yohanes Paulus
II.
Kita tentu bersyukur
atas misteri iman yaitu wafat Kristus, kebangkitan Kristus dan kedatanganNya
kembali dengan mulia senantiasa dijaga. Oleh karena itu ketika ada perbedaan-perbedaan
yang menyangkut sikap pada perayaan misteri iman, maka kita tidak perlu gelisah, cemas apalagi
gontok-gontokan, sebab ada orang atau lembaga yang memiliki wewenang mengatur
liturgi dalam batas-batas tertentu seperti pada Konferensi Wali Gereja, di
Indonesia KWI dan para uskup berdasarkan kuasa yang diberikan hukum. Maka kalau
ada perbedaan atau malah ada pelanggaran norma, cukuplah kita bertanya kepada
Romo, atau kalau berani kepada Uskup, kalau berani lagi kepada KWI. Kompleksitas
pertanyaan tentu akan bertambah banyak kalau kita terus hanya mencari
perbedaan, mencari yang salah atau yang benar pada perayaan liturgi baik pada
perayaan sakramen-sakramen, sakramentali, profesi religius, ibadat harian dan
upacara pemakaman . Dari pada hati dan pikiran kita tersita oleh pertanyaan
semacam itu, kita lebih baik kembali pada inti mengapa ada wewenang yang
mengatur liturgi yaitu untuk menjaga perayaan misteri iman yang melaluinya kita
memperoleh kselamatan.
1. Kita harus sadar bahwa
wewenang mengatur liturgi dalam Gereja untuk menjaga iman Gereja ketika iman
itu dirayakan, menghindari penodaan dan penyelewengan norma-norma. Kita harus
berkata AMIN!
2. Wewenang yang mengatur
liturgi yang dimiliki Tahta Apostulik dan Koferensi Wali Gereja, para uskup
adalah wewenang yang kita yakini diberikan oleh Kristus kepada Gereja. Kiranya inilah yang harus menjadi dasar kita menyikapi perayaan
liturgi, sekalipun kita menemui yang menurut kita ada perbedaan.
3. Ini penting. Apakah kita
menghargai atau menghormati aturan liturgi dengan sungguh-sungguh ? misalnya
ketika kita menyambut Tubuh Kristus yaitu dengan sikap hormat? Atau ketika
harus membuat tanda salib pada pembukaan perayaan Ekarisi atau dalam liturgi
yang lain bahkan dalam saat kita akan berdoa sekalipun, seenaknya, sembarangan,
atau kebolak-balik dan sebagainya ?
Inilah renungan kita.
Amin
0 comments:
Post a Comment