Monday, 5 May 2014

Renungan BKL 05 Mei 2014

WEWENANG MENGATUR LITURGI
Renungan BKL 05 Mei 2014

Renungan kita hari ini mengangkat tema " Wewenang Mengatur Liturgi". Siapa yang sesungguhnya boleh mengatur liturgi? Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam perayaan liturgi: apakah itu soal busana liturgi, soal sikap duduk, berdiri, berlutut, soal doa liturgis mana yang boleh diucapkan imam atau umat, seringkali menimbulkan pertanyaan, bahkan bisa jadi saling menyalahkan atau saling membenarkan diri. Untuk menyikapi hal-hal semacam itu, maka hari ini kita diajak untuk merenungkan tentang wewenang mengatur liturgi.

Dalam renungan kita hari ini, renungan ke lima, kita mendapat penjelasan bahwa wewenang mengatur liturgi apakah itu liturgi sakramen Ekaristi dan sakramen-sakramen lain, liturgi sakramentali, liturgi profesi religius, ibadat harian dan liturgi upacara pemakaman, pertama-tama ada pada Tahta Apostulik dan kaidah hukum pada uskup. Kita sering menyebut ada pada Roma. Tetapi pada batas-batas tertentu wewenang itu juga dimiliki oleh Konferensi Wali Gereja (kumpulan para uskup di suatu negara) atau para uskup berdasarkan kuasa yang diberikan hukum. Wewenang ini tertulis jelas dalam Sacrosanctum Concilium ( Kontitusi Liturgi) artikel 21 dokumen Konsili Vatikan II. Karena itu konsekwensinya, tidak seorang pun termasuk imam apalagi umat  boleh mengubah atau menambah aturan atau tatacara liturgi menurut kehendaknya sendiri. Pemusatan wewenang mengatur liturgi ini dimaksudkan untuk menjaga misteri iman yang sangat agung melalui norma-norma liturgi yang telah ditetapkan. Jangan sampai misteri iman ini, pusat dan pokok iman Gereja dinodai oleh tindakan-tindakan seenaknya atau ngawur, seperti pernah diperingatkan oleh Santo Yohanes Paulus II.

Kita tentu bersyukur atas misteri iman yaitu wafat Kristus, kebangkitan Kristus dan kedatanganNya kembali dengan mulia senantiasa dijaga. Oleh karena itu ketika ada perbedaan-perbedaan yang menyangkut sikap pada perayaan misteri iman, maka kita  tidak perlu gelisah, cemas apalagi gontok-gontokan, sebab ada orang atau lembaga yang memiliki wewenang mengatur liturgi dalam batas-batas tertentu seperti pada Konferensi Wali Gereja, di Indonesia KWI dan para uskup berdasarkan kuasa yang diberikan hukum. Maka kalau ada perbedaan atau malah ada pelanggaran norma, cukuplah kita bertanya kepada Romo, atau kalau berani kepada Uskup, kalau berani lagi kepada KWI. Kompleksitas pertanyaan tentu akan bertambah banyak kalau kita terus hanya mencari perbedaan, mencari yang salah atau yang benar pada perayaan liturgi baik pada perayaan sakramen-sakramen, sakramentali, profesi religius, ibadat harian dan upacara pemakaman . Dari pada hati dan pikiran kita tersita oleh pertanyaan semacam itu, kita lebih baik kembali pada inti mengapa ada wewenang yang mengatur liturgi yaitu untuk menjaga perayaan misteri iman yang melaluinya kita memperoleh kselamatan.
 
Lalu apa yang bisa kita renungkan berkaitan dengan renungan kita hari ini?

1.       Kita harus sadar bahwa wewenang mengatur liturgi dalam Gereja untuk menjaga iman Gereja ketika iman itu dirayakan, menghindari penodaan dan penyelewengan norma-norma. Kita harus berkata AMIN!

2.      Wewenang yang mengatur liturgi yang dimiliki Tahta Apostulik dan Koferensi Wali Gereja, para uskup adalah wewenang yang kita yakini diberikan oleh Kristus kepada Gereja.  Kiranya inilah yang  harus menjadi dasar kita menyikapi perayaan liturgi, sekalipun kita menemui yang menurut kita ada perbedaan.

3.      Ini penting. Apakah kita menghargai atau menghormati aturan liturgi dengan sungguh-sungguh ? misalnya ketika kita menyambut Tubuh Kristus yaitu dengan sikap hormat? Atau ketika harus membuat tanda salib pada pembukaan perayaan Ekarisi atau dalam liturgi yang lain bahkan dalam saat kita akan berdoa sekalipun, seenaknya, sembarangan, atau kebolak-balik dan sebagainya ?
Inilah renungan kita. Amin

0 comments:

Post a Comment