Saturday, 10 May 2014

Renungan BKL 12 Mei 2014

BAHASA LITURGI
Renungan BKL 12 Mei 2014
Tema renungan kita hari ini " BAHASA LITURGI" Saat ini ada keprihatinan khususnya untuk wilayah Keuskupan kita Keuskupan Agung Semarang, penggunaan bahasa Jawa dalam liturgi/perayaan Ekaristi mulai terasa menurun seiring dengan seringnya digunakan bahasa Indonesia dalam perayaan Ekaristi. Di stasi kita GBM misalnya sebulan sekali digunakan bahasa Jawa dan ada tambahan pada hari Jumat Pertama. Itupun kadangkala berubah, tergantung pada team liturgi yang menyusun jadwal perayaan Ekaristi. Pada hal Konstitusi Liturgi kita mengamanatkan bahwa penggunaan bahasa pribumi sangat bermanfaat. Gereja memberi kelonggaran yang lebih luas terutama dalam bacaan-bacaan, ajakan-ajakan dan berbagai doa dan nyanyian (KL. Art.36) Bahasa Indonesia memang termasuk bahasa pribumi, tetapi bahasa itu tidak terkait langsung dengan kebudayaan seperti budaya Jawa dengan basa Jawanya, kebudayaan Batak dengan bahasa Bataknya, kebudayaan Nias dengan bahasa  Niasnya, Kebudayaan Karo dengan bahasa Karonya.


Penggunaan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi terkait dengan budaya sesungguhnya merupakan upaya agar perayaan iman umat menjadi lebih pas, mengena dengan cita rasa budaya. Upaya semacam ini merupakan bagian dari gema inkulturasi yang sudah dimulai sejak Konsili Vatikan II menghembuskan pembaharuan di bidang liturgi." Supaya lebih terjaminlah bahwa umat Kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam liturgi Suci, Bunda Gereja .. mengusahakan dengan seksama pembaharuan umum Liturgi ..." (KL. Art. 21), Tanpa harus menciptakan tata liturgi yang sama sekali baru,  inkulturasi dalam bidang liturgi ini bermaksud menjelmakan liturgi ke dalam kebudayaan setempat, termasuk penggunaan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi.
Pembaharuan di bidang liturgi yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan II tentu tidak tanpa alasan. Jauh sebelum Konsili Vatikan II diselanggarakan, sekitar abad ke 9, Gereja kehilangan gairah hidup karena mengikatkan diri pada bentuk kebudayaan tertentu. Apalagi pada waktu itu Politik Kekaisaran Roma dibawah Karel Agung mencitakan-citakan pemulihan Kekaisaran Romawi atas dasar satu iman, satu bangsa, satu kebudayaan dan satu pemimpin. Dengan demikian Gereja menutup diri terhadap perkembangan nyata di dunia sehingga adat kebudayaan lain harus menyesuaikan diri dengan ada kebudayaan kristen yang dianggap universal. Inilah yang membuat gairah hidup Gereja meredup.  Kita masih ingat sebelum Konsili Vatikan II, perayaan Ekaristi selalu menggunakan bahasa latin.
Disamping itu pembaharuan di bidang liturgi juga karena didorong oleh kesadaran teologis bahwa Allah sendiri menjelma menjadi manusia dan mengikatkan diri pada keadaan sosial budaya tertentu (AG. 10 Yoh. 1: 1-18) Kitab Suci juga memberi kesaksian ketika Petrus berkotbah setiap orang mendengar menurut bahasanya sendiri ( Kis.2:1-13) Persoalan makanan halal dan sunat tidak lagi menjadi syarat dan aturan yang menetukan apakah orang boleh menjadi kristen. Bahkan Allah yang tak dikenal disembahkan orang Athena (Kis.17:16-34) Tentu masih ada landasan-landasan lain mengapa inkulturasi itu dilakukan.  
Kini persoalan kita ialah: apakah misalnya ketika perayaan Ekaristi menggunakan bahasa Jawa, kita orang Jawa merasa lebih tersentuh, mengena dari pada bahasa Indonesia? Hal yang sama juga berlaku bagi orang Batak, NTT, Nias dan lain sebagainya. Jarangnya penggunaan bahasa Jawa (khususnya wilayah Keuskupan kita) apakah karena kita kurang menghargai bahasa Jawa sebagai bahasa adiluhung, yang sesungguhnya mempuyai kekuatan  mengungkap realita terdalam hidup kita? Atau bahasa-bahasa lokal lainnya? Apakah kita lebih mantep mendengar perayaan Ekaristi dalam  bahasa Latin, termasuk sikap tubuh dalam perayaan Ekaristi, seperti perayaan Natal di Vatikan?Atau sebaiknya memang bahasa Jawa tidak selalu digunakan terutama di kota karena mobilitas manusia dari  berbagai suku?  Tentu masih banyak pertanyaan di seputar penggunaan bahasa Jawa atau bahasa lokal dalam perayaan Ekaristi. Tetapi yang jauh lebih penting apakah penggunaan bahasa lokal apapun macamnya bisa membantu kita lebih dalam menghayati iman kita. Mari pada pertemuan kita hari ini, kita diskusikan, atau kita sharingkan pengalaman kita, atau juga pemikiran-pemikiran kita demi pentingnya penggunaan bahasa lokal/pribumi  dalam liturgi.

0 comments:

Post a Comment