BAHASA LITURGI
Renungan BKL 12 Mei 2014
Tema
renungan kita hari ini " BAHASA LITURGI" Saat ini ada keprihatinan
khususnya untuk wilayah Keuskupan kita Keuskupan Agung Semarang, penggunaan
bahasa Jawa dalam liturgi/perayaan Ekaristi mulai terasa menurun seiring dengan
seringnya digunakan bahasa Indonesia dalam perayaan Ekaristi. Di stasi kita GBM
misalnya sebulan sekali digunakan bahasa Jawa dan ada tambahan pada hari Jumat
Pertama. Itupun kadangkala berubah, tergantung pada team liturgi yang menyusun
jadwal perayaan Ekaristi. Pada hal Konstitusi Liturgi kita mengamanatkan bahwa penggunaan
bahasa pribumi sangat bermanfaat. Gereja memberi kelonggaran yang lebih luas
terutama dalam bacaan-bacaan, ajakan-ajakan dan berbagai doa dan nyanyian (KL.
Art.36) Bahasa Indonesia memang termasuk bahasa pribumi, tetapi bahasa itu
tidak terkait langsung dengan kebudayaan seperti budaya Jawa dengan basa Jawanya,
kebudayaan Batak dengan bahasa Bataknya, kebudayaan Nias dengan bahasa Niasnya, Kebudayaan Karo dengan bahasa
Karonya.
Penggunaan
bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi terkait dengan budaya sesungguhnya
merupakan upaya agar perayaan iman umat menjadi lebih pas, mengena dengan cita
rasa budaya. Upaya semacam ini merupakan bagian dari gema inkulturasi yang
sudah dimulai sejak Konsili Vatikan II menghembuskan pembaharuan di bidang
liturgi." Supaya lebih terjaminlah bahwa umat Kristiani memperoleh rahmat
berlimpah dalam liturgi Suci, Bunda Gereja .. mengusahakan dengan seksama
pembaharuan umum Liturgi ..." (KL. Art. 21), Tanpa harus menciptakan tata
liturgi yang sama sekali baru,
inkulturasi dalam bidang liturgi ini bermaksud menjelmakan liturgi ke
dalam kebudayaan setempat, termasuk penggunaan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi.
Pembaharuan
di bidang liturgi yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan II tentu tidak tanpa
alasan. Jauh sebelum Konsili Vatikan II diselanggarakan, sekitar abad ke 9,
Gereja kehilangan gairah hidup karena mengikatkan diri pada bentuk kebudayaan
tertentu. Apalagi pada waktu itu Politik Kekaisaran Roma dibawah Karel Agung
mencitakan-citakan pemulihan Kekaisaran Romawi atas dasar satu iman, satu
bangsa, satu kebudayaan dan satu pemimpin. Dengan demikian Gereja menutup diri
terhadap perkembangan nyata di dunia sehingga adat kebudayaan lain harus
menyesuaikan diri dengan ada kebudayaan kristen yang dianggap universal. Inilah
yang membuat gairah hidup Gereja meredup. Kita masih ingat sebelum Konsili Vatikan II,
perayaan Ekaristi selalu menggunakan bahasa latin.
Disamping
itu pembaharuan di bidang liturgi juga karena didorong oleh kesadaran teologis
bahwa Allah sendiri menjelma menjadi manusia dan mengikatkan diri pada keadaan
sosial budaya tertentu (AG. 10 Yoh. 1: 1-18) Kitab Suci juga memberi kesaksian
ketika Petrus berkotbah setiap orang mendengar menurut bahasanya sendiri (
Kis.2:1-13) Persoalan makanan halal dan sunat tidak lagi menjadi syarat dan
aturan yang menetukan apakah orang boleh menjadi kristen. Bahkan Allah yang tak
dikenal disembahkan orang Athena (Kis.17:16-34) Tentu masih ada
landasan-landasan lain mengapa inkulturasi itu dilakukan.
Kini
persoalan kita ialah: apakah misalnya ketika perayaan Ekaristi menggunakan bahasa
Jawa, kita orang Jawa merasa lebih tersentuh, mengena dari pada bahasa Indonesia?
Hal yang sama juga berlaku bagi orang Batak, NTT, Nias dan lain sebagainya.
Jarangnya penggunaan bahasa Jawa (khususnya wilayah Keuskupan kita) apakah
karena kita kurang menghargai bahasa Jawa sebagai bahasa adiluhung, yang
sesungguhnya mempuyai kekuatan mengungkap realita terdalam hidup kita? Atau bahasa-bahasa
lokal lainnya? Apakah kita lebih mantep mendengar perayaan Ekaristi dalam bahasa Latin, termasuk sikap tubuh dalam perayaan Ekaristi,
seperti perayaan Natal di Vatikan?Atau sebaiknya memang bahasa Jawa tidak
selalu digunakan terutama di kota karena mobilitas manusia dari berbagai suku? Tentu masih banyak pertanyaan di seputar
penggunaan bahasa Jawa atau bahasa lokal dalam perayaan Ekaristi. Tetapi yang
jauh lebih penting apakah penggunaan bahasa lokal apapun macamnya bisa membantu
kita lebih dalam menghayati iman kita. Mari pada pertemuan kita hari ini, kita
diskusikan, atau kita sharingkan pengalaman kita, atau juga pemikiran-pemikiran
kita demi pentingnya penggunaan bahasa lokal/pribumi dalam liturgi.
0 comments:
Post a Comment